8. Maaf
----
"Eh, ada apa?" Arjati menyangga tubuh Haura dari belakang.
"Kenapa wajahmu pucat sekali? Apa kau sakit?"
Haura masih diam, matanya tertuju pada Hayam Wuruk yang tengah duduk diseberang sana sembari berbincang dengan pemuda tinggi yang berdiri tegap di sampingnya.
"Bintari, Bintari kau dengar aku? Bintari!"
Haura menegakkan tubuhnya, berbalik badan menatap Arjati. "Arjati, apa kau punya racun?"
Kalimat itu meluncur begitu saja dengan lancar. Membuat Arjati menjitak kepala gadis itu dengan kesal. "Kau ini bicara apa? Jangan bicara sembarangan, dasar bodoh!" marah gadis berwajah lugu itu.
"Kalian kenapa? Kemari duduklah, acaranya akan segera dimulai." Suara lembut Nertaja membuat kedua gadis yang tengah berbincang itu mengangguk, lalu duduk disebelah TuanPutri dari Majapahit tersebut.
▪
Sepanjang acara Haura tidak bisa merasa tenang, sampai akhirnya Arjati mengajaknya untuk meninggalkan tempat acara lalu mengajaknya duduk disebuah pondok kecil didalam keraton.
Sementara Nertaja, tentu saja ia masih disana menyaksikan para penari yang menarikan berbagai tarian indah. Lagi pula dia adalah Paduka Tuan Putri dari Majapahit yang megah ini, tentu saja ia harus tetap duduk dengan manis di sana.
"Katakan, kau mau bilang apa?"
Arjati menatap Haura yang masih diam sembari menggigit bibir bawahnya was-was. "Arjati—"
"Iya, ada apa? Kau ini!" kesal gadis itu.
"Anjrot! Sabar dong ngegas banget sih! Elahhhh."
"H-ha?"
"Huftt ... begini. Kau yakin pria tadi yang memberi salam pada Maharani adalah Hayam Wuruk, pangeran Hayam Wuruk?"
Arjati mengedipkan kelopak matanya beberapa kali sebelum menjawab. "Iya, dia pangeran Hayam Wuruk putra mahkota dari Majapahit, putra sang Maharani dan kakak kandung dari sahabat kita. Dyah Nertaja," katanya.
Haura menyenderkan kepalanya ketiang. Ia ingin menangis saja sekarang tolong.
"Kenapa? Ada apa? Demi Sang Hyang Widhi jika kau tidak mengatakannya sekarang juga aku akan—"
"Arjati. Aku telah menghinya," kata Haura tiba-tiba seakan kehilangan seluruh tenaga ia hanya menyenderkan kepalanya dengan lengan memeluk tiang.
Gadis berwajah lugu itu mengernyitkan dahinya. "Menghina? Menghina siapa?"
"Dia, dia Arjati Hayam Wuruk."
"APAAA!!!"
Arjati tiba-tiba menjerit keras, membuat Haura rasanya ingin menyumpal mulutnya dengan kelapa. "Menghina bagaimana! Kau menghinanya bagaimana?!"
Haura menelan salivanya. "A-aku waktu itu pernah menghinanya, aku mencaci maki dia, a-aku bahkan mengancamnya dan bersikap tidak sopan. Tapi Arjati aku tidak tau bahwa dia adalah Hayam Wuruk!" Haura meninggikan perkataannya diakhir kalimat.
"Ya Dewaaa ...." Arjati mengusap-usap wajah ayu-nya.
"Bagaimana ini, waktu itu aku tidak tau dia siapa. Dan pria yang berdiri di sampingnya tadi tidak memberitahu—"
"Maksudmu, Cayapata?" Arjati langsung memotong perkataan Haura.
"Jadi pria itu Cayapata? Ahh ... sudahlah sekarang tolong beritahu aku bagaimana ini tolong lah Arjati, aku mohon." Haura menggoyang-goyangkan lengan Arjati memelas.
"Sebentar," Gadis berwajah lugu itu menarik nafas panjang. "Kau mengatakan apa saja waktu itu pada Paduka?"
Haura berusaha mengingat-ingat walau rasanya dada-nya akan jebol karena deg-degan. "Hm ... a-aku pernah bilang bahwa aku anak dari menteri kerajaan ini, dan aku juga pernah menertawakannya, aku juga menuduhnya ... hah?! Bahkan aku pernah menyebut namanya dengan tidak sopan! Dan aku juga menunjuk wajahnya! Ya Tuhan ...."
Arjati menyenderkan punggungnya ke tiang. "Sudahlah, mati saja kau," katanya tanpa perasaan.
"Aku tidak habis pikir denganmu, ya Dewa ada apa sebenarnya dengan dirimu Bintari. Kenapa bisa berubah seperti ini, kita bahkan belum genap seminggu di tempat ini dan kau? Kau sudah membuat masalah SEBESAR ini, kemana Bintari yang lemah lembut itu? Ha?!"
Haura hanya diam. Ia merapatkan bibirnya, ya mungkin kepribadiannya dengan Bintari ini memang berbeda jauh, sangat jauh. "Lalu sekarang bagaimana?"
Arjati terdiam sejenak. "Tidak ada cara lain, kau harus meminta maaf padanya."
Haura membulatkan matanya sempurna. "Minta maaf? Padanya? Tidak-tidak ini tidak mungkin, lagi pula aku tidak salah di—"
"Tidak ada cara lain, hanya ini satu-satunya cara. Sungguh,"
Haura mengulum bibirnya, menimang-nimang saran dari Arjati. "Tapi, tapi bagaimana jika pria itu langsung memotong leherku sebelum aku bicara?"
Arjati terkekeh, ya ... terkekeh sinis. "Hei, dia tidak sekejam itu."
Haura bingung, sangat bingung. Jika dikehidupan normalnya ia mana mau berurusan dengan maklum bernama pria apalagi meminta maaf, cih!
Tetapi ini berbeda, ia sekarang bukan berada di negri tempat biasanya orang saling ngegas. Sekarang ia tengah berada di Majapahit! Dan yang tengah ia hadapi sekarang ini Hayam Wuruk, Hayam Wuruk kawan. Coba deh goggle, astaga.
"Haaa! Yasudahlah aku akan meminta maaf padanya jika hanya ini jalan keluarnya," ucap Haura mengalah.
Arjati menghembuskan nafas lega. "Baik jika begitu, ayo!" Arjati menarik tangan Haura yang masih terduduk diam.
Haura mengernyitkan dahi dalam. "Kemana?"
"Meminta maaf pada Paduka,"
"H-ha? Sekarang."
"Tentu saja! Kau pikir seratus tahun lagi? Jika begitu kita sudah mati lah! Ayoo!"
"Arjatii ...."
Haura mengikuti langkah Arjati dengan terseok. Ya Tuhan ... apalagi ini semoga Paduka Pangeran itu tidak membuat masalah.
...
Aku update karena lagi Ultah nih huhu😭Maap yak cuma dikit, lagi pusying wkwk.
:))
Jum'at,
05 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Majapahit
FantasyApa yang ada dipikiranmu ketika mendengar nama Majapahit? Hayam Wuruk? Gajah Mada? Sumpah Palapa? Kerajaan Terbesar Di Nusantara? Ini adalah kisah seorang gadis berusia 16 tahun yang baru menginjak bangku kelas dua SMA yang terjebak dimasa lalu, di...