MAM || Chapter Sepuluh

745 121 8
                                    

Menulis adalah sebuah keberanian.
-

10. Kisah Kematian Maharaja Wiralandagopala ( Jayanegara )

Haura berjalan dengan tergesa memasuki ruangan besar itu bersama Arjati, sungguh di sana ramai sekali. Katanya ini tempat makan keraton, karena sedang ada acara perayaan semua anggota istana wajib kesana untuk menyantap makanan lezat dari berbagai penjuru Nusantara. Ya ... negara ini masih bernama Nusantara kan?

Haura mengedarkan pandangannya didalam ruangan besar itu, mencari sosok Arya Mengkudu.

"Bintari!"

Gadis itu akhir-nya menemukan keberadaan ayah dari Bintari ini, ia tengah berdiri disudut ruangan. Haura pun segera menuju kearah pria setengah parubaya itu bersama Arjati.

"Hormat-ku pada Ayah," kata Haura saat sudah sampai dihadapan Arya Mengkudu. Dia mulai berkeringat dingin, ia pasti akan dimarahi habis-habisan hari ini gara-gara pangeran angkuh itu.

Entah apa yang sudah pria itu katakan pada Arya Mengkudu. Semoga saja ia tidak diusir, jika itu terjadi tamatlah sudah. Mau tinggal dimana ia di negri antah berantah ini.

"Apa kau tidak lelah?"

Haura memejamkan kedua matanya, kepalanya masih tertunduk tidak berani membalas tatapan menteri dari Majapahit itu. Pasti sekarang beliau sangat marah dan wajahnya terlihat menyeramkan.

"Bintari? Ada apa? Kenapa hanya menunduk dan tinggal membalas pertanyaan Ayah?" tanya Arya Mengkudu.

Haura mengernyit, mengangkat wajahnya yang tertunduk mendengar nada bicara yang manusiawi itu. Ha? Dia tidak marah?

"Jika kau lelah lebih baik cepat beristirahat. Dan ya, Ayah senang kau lebih berguna sekarang dan mau membantu Tuan Putri menyiapkan persiapan. Bersikaplah seperti ini terus agar aku tidak perlu marah-marah. Dan layani Paduka Putri dengan baik, kau mengerti bukan?" kata Arya Mengkudu.

"Yasudah, hanya itu yang ingin Ayah katakan. Kau bisa makan, lalu setelah itu cepat tidur. Tidak baik anak gadis terus berkeliaran saat malam."

Haura langsung menghentikkan Arya Mengkudu yang akan beranjak pergi. "A-apa Ayah hanya ingin mengatakan ini?" tanya Haura sedikit tergagap.

"Iya tentu. Memang apalagi? Sudah Ayah akan pergi menemui Adityawarman dahulu." Setelah mengatakannya pria itu segera beranjak pergi dari hadapan Haura.

Gadis itu masih bingung, ini gak jadi dimarahin? Apa Hayam Wuruk tidak mengatakkannya? Tapi kenapa, bukankah ini kesempatan bagus untuk balas dendam. Hhh, pikiran orang itu benar-benar aneh.

"Bintari kau memikirkan apa?"

Haura menengok ke samping, menggeleng pelan kearah Arjati sembari tersenyum kecil. Dada-nya menghangat mendengar Ayahnya— lebih tepat-nya ayah dari Bintari itu bersikap seperti seorang ayah pada umum-nya.

Perhatian Haura tiba-tiba teralih saat suara bising dari luar terdengar menyambut kedatangan seseorang. Memang siapa lagi yang datang? Bukankah RajaPutri sudah duduk ditempat-nya.

Arjati menarik tubuh Haura sedikit menepi memberi jalan, apalagi saat tiba-tiba Sang Maharani turun dari tempat duduk-nya dan berjalan kearah pintu menyambut seseorang membuat Haura penasaran, ia pun sedikit melongok. Menemukan wanita tua dengan kebaya coklat-nya dan selendang panjang dipunggungnya juga rambut disanggul seperti nenek-nenek pada umum-nya, ia berjalan bersama Nertaja di sampingnya. Siapa dia?

Me And Majapahit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang