Part 1

12.2K 435 3
                                    

****

Pemakaman telah usai, dan aku masih terduduk lemas di depan gundukan tanah yang beberapa saat lalu menimbun jasad anak semata wayangku, Akbar.

Air mata masih terus membanjiri pipi. Sedih dan pilu tentu saja ketika kehilangan seseorang yang begitu kita cintai. Apalagi kehilangan darah daging, yang masih berusia sangat belia. Kuusap papan nisan yang bertuliskan nama anakku, kubelai seolah-olah itu adalah kepala Akbar.

"Akbar ... tunggu Mama di surga, Nak," lirihku di sela isak tangis.

"Ma, sudah sore, kita pulang, ya." Kurasakan sentuhan lembut di pundak, mengusap kepalaku penuh kasih, dan membawa diri yang lemah ini ke dalam dekapannya.

Mas Raka--suamiku--aku tau dia pun berduka, hanya saja dia berusaha tegar. Melabuhkan kepala di dadanya, aku merasa sedikit tenang meski bulir bening terus saja mengalir membasahi pipi.

Mas Raka memapahku berjalan menuju mobil yang terparkir di luar area pemakaman. Membuka pintu untuk diri ini kemudian beralih ke pintu kemudi. Roda empat kami pun berjalan perlahan meninggalkan pemakaman. Kami saling diam sepanjang perjalanan pulang, sesekali isak tangisku masih terdengar.

Sampai di halaman rumah tampak masih ramai tamu yang datang untuk takziyah. Begitu melihatku turun dari mobil mereka langsung menyambut, menyalami dan mengucapkan bela sungkawa. Aku hanya menanggapinya dengan senyum getir bercampur dengan isak tangis.

"Pa, Mama mau istirahat." Selesai menemui tamu-tamu aku berpamitan pada Mas Raka. Bergegas ia pun mengantarku ke kamar.

"Mama istirahat aja, biar Papa yang temuin tamu-tamu di depan." Mas Raka mengusap pipiku dan mencium lembut pucuk kepalaku, kemudian berlalu ke luar kamar.

Menatap langit-langit kamar, terbayang lagi kejadian naas yang merenggut nyawa Akbar.

****

Sudah menjadi rutinitasku setiap hari mengantar dan menjemput Akbar sekolah, begitu pun pagi ini, setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Mas Raka dan Akbar aku bersiap-siap untuk mengantar remaja berumur 14 tahun itu ke sekolah.

"Ma ... Akbar lupa kasih tau Mama. Nanti pulang sekolah Akbar ada kerja kelompok sama temen-temen. Jadi Mama gak usah anter Akbar, biar Akbar naik sepeda aja."

Aku yang hendak ke kamar untuk berganti baju akhirnya balik badan dan melangkah kembali ke meja makan.

"Laah, terus nanti makan siangnya gimana?" tanyaku. "Apa Mama anterin makan siang ke sekolah?" lanjutku lagi.

"Gak usah, Ma, Akbar kasih uang lebih aja buat beli makanan nanti siang," pintanya.

Aku menatap Mas Raka yang sedari tadi diam saja.

"Sebenernya Mama khawatir kalau Akbar naik sepeda, jalanan kan rame. Biar Mama anter aja, nanti pulang sekolah Mama tetep ke sekolah buat anter Akbar kerja kelompok. Kalo udah kelar Akbar kabarin Mama, biar Mama jemput lagi."

"Diih...Akbar udah gede Ma, udah kelas 2 SMP, gak papa sekali-kali ke sekolah naik sepeda." Akbar bangkit meninggalkan meja makan dan bergegas ke garasi untuk mengambil sepedanya.

"Paah ...." Aku merajuk ke Mas Raka.

"Biarin aja, Ma, bener kata Akbar. Dia kan laki-laki, jangan terlalu kawatir dan manjain dia. Biarkan dia berlatih mandiri." Mas Raka berlalu menyusul anak lelakinya.

Kulihat jagianku sudah mengeluarkan sepedanya. "Akbar berangkat dulu, Pah, Mah," pamitnya seraya mencium punggung tanganku dan Mas Raka sambil mengucap salam.

"Ati-ati di jalan, Nak," pesanku. Akbar menjawab dengan acungan jempol seraya mengayuh sepedanya pelan.

Aku menutup pintu pagar kemudian menyusul Mas Raka yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.

"Harusnya Papa gak ijinin Akbar naik sepeda, Mama khawatir." Aku merapikan meja makan sambil menggerutu menyalahkan Mas Raka.

"Sudah ... doakan Akbar baik-baik saja," sahutnya.

Sampai Mas Raka pamit berangkat kerja, rasa ini masih was-was melepas Akbar pergi ke sekolah naik sepeda.

Selepas zuhur aku mencari aktifitas untuk sekedar menghilangkan kecemasanku pada Akbar. Kuputuskan membuat puding coklat kesukaan anak lelaki semata wayang. Dia pasti lelah setelah bersepeda dengan jarak yang lumayan jauh.

Saat hendak menuangkan cairan agar-agar ke dalam cetakan, tanpa sengaja tanganku menyenggol pinggiran kulkas hingga panci yang kupegang pun lepas dari genggaman.

"Astaghfirullah!" pekikku kaget demi melihat cairan agar-agar berceceran di lantai.

Mendadak perasaan pun tidak enak, teringat Akbar. Segera kutepis rasa itu. Mengambil lap dan segera mengepel lantai agar tidak di kerubut semut. Membayangkan wajah Akbar yang lelah diri pun kembali membuat adonan puding.

Memasuki waktu Asar, Akbar belum pulang. Aku pun bergegas ke kamar mandi untuk berwudu dan melaksanakan salat Asar. Salatku tak khusyuk karena terus memikirkan lelaki kecilku. Saat sedang melepas mukena terdengar pintu rumah di ketuk orang.

Tok tok!

Segera melipat mukena dan berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang.

"Polisi?" gumamku. Mendadak perasaan tidak enak makin kuat.

"Assalamualaikum, benar ini rumah orang tua Akbar?" Salah satu polisi itu bertanya setelah pintu terbuka.

"Waalaikumsalam. Benar, Pak, saya ibunya Akbar. Ada apa, yaa?"

"Begini, Bu, anak Ibu mengalami kecelakaan."

Kalimat Pak polisi itu bagaikan petir yang menyambar. Aku termundur sambil membekap mulut agar tak berteriak.

"Ke--kecelakaan, Pak?" Sontak air mata ini luruh dan tubuh pun gemetar. Tangan berusaha menggapai apa saja yang bisa menopang tubuh yang mendadak lemas seperti tak bertulang. Dada terasa sesak, tubuh pun limbung.

"Akbar!" teriakku, lalu tiba-tiba semua menjadi gelap.

****

Next?

Anakku Bukan AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang