Part 11

5.5K 308 18
                                    

Kudekati Kiya yang ternyata sudah terlelap didepan televisi, terbuai dialam mimpi. Kuambil remote lalu kumatikan televisinya.

Menatap wajah polos gadis kecilku seketika aku merasa seperti ada palu godam yang menghantam dadaku, sesak. Dia ... yang menjadi alasan Mas Raka menikahi Reyna. Hanya agar aku tak kehilangan Kiya, tapi dia lupa jika kemudian aku harus kehilangannya.

Kubaringkan diriku disamping Kiya, kucium keningnya, demikian juga pipi dan seluruh wajahnya. Menatapnya dalam lelap seperti ini, sungguh membuat hati ini merasakan kedamaian ditengah perasaanku yang saat ini tengah hancur menjadi puing-puing kecil dan berserak.

"Mama sayang Kiya, lebih dari apapun." bisikku. Kudekap tubuh mungilnya, kuhirup aroma tubuhnya. Kiya menggeliat sesaat, tapi kembali terlelap saat kutepuk-tepuk lengannya.

Tuhan, beginikah rasanya menjadi perempuan yang dirahimnya tak bisa lagi tumbuh janin? "Astaghfirullah." Seketika aku istighfar, menyadari masih begitu banyak nikmat Tuhan yang masih kurasakan.

Aku bangkit dari sisi Kiya, duduk memeluk lutut. Kebimbangan merajai hati, aku harus bagaimana? Aku harus apa? Bertahan atau pergi? Sanggupkah jika aku bertahan? Bisakah aku pergi?

Terngiang kembali kata-kata Reyna, membuat sudut hati ini kembali merasakan nyeri. Kiya dan Mas Raka miliknya. Benarkah? Tidak! Mas Raka dan Kiya adalah milikku. Aku tak akan menyerah begitu saja. Akan aku pertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku.

Ya ... takkan kubiarkan Reyna menghancurkan semua yang sudah aku bangun dengan susah payah.

Sampah itu harus aku kembalikan ketempat dimana seharusnya dia berada. Tunggulah, kamu akan merasakan yang lebih menyakitkan dari yang aku rasa saat ini.

****

Mencoba menata hati yang telah porak-poranda memang bukan hal yang mudah. Perlu waktu dan kesabaran. Sementara ini hanya Kiya yang bisa menjadi obat untuk setiap luka. Tingkahnya yang lucu dan menggemaskan selalu mampu mengalihkan duniaku yang kini gelap tanpa bintang.

"Ma ...." Kurasakan tangan Mas Raka memelukku dari belakang. Aku bergeming. Tak ingin merespon setiap sentuhannya, meski sesungguhnya tubuh ini mendamba. Namun hasrat kini tak lagi tumbuh, melebur bersama hati yang hancur.

Kubiarkan saja posisi kami tetap seperti ini. Tangan Mas Raka mengusap lembut tanganku sambil berkali-kali dia mencium pucuk kepalaku. Nyatanya aku tetap tak bisa menolak sentuhannya. Demi apa ....? Entah ....

"Katakan padanya, jangan ganggu hidupku!" desisku.

Sontak Mas Raka bangkit dan melepas pelukannya.

"Maksud Mama, Reyna?"

"Jangan pernah sebut namanya didepanku!" Aku berbalik dan menatapnya tajam.

"Okee, Papa gak akan sebut namanya." Mas Raka mengangkat kedua tangannya.

"Maksud Mama gimana, Papa gak ngerti."

"Bilang saja padanya, jangan pernah mengganggu kehidupanku dan Kiya. Cukuplah kamu saja yang berurusan dengannya," tandasku. "Dan kutegaskan padamu Mas, wallahi ... aku tidak pernah ridho berbagi suami!" Aku kembali merebahkan diri dengan posisi memunggunginya. Kudengar Mas Raka menghembuskan napas kasar.

"Jika kamu ingin pergi, pergilah! Tapi tolong, jangan bawa Kiya. Biarkan dia bersamaku, biarkan dia tetap menjadi milikku." Aku berucap lirih senada memohon, kemudian kutarik selimut hingga menutup bahu.

"Maafin Papa Ma, Papa salah." Mas Raka masih duduk bersandar dikepala ranjang sambil tangan kanannya mengusap rambutku.

Aku memejamkan mata tak ingin menjawab lagi ucapan maafnya.

Anakku Bukan AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang