Happy reading guys****
Kuntum kamboja berguguran dihembus angin yang bertiup kencang sore ini. Kutatap pusara yang sudah tertutup rumput hijau di sekitarnya.
Bulir air mata menetes mengiringi doa yang selalu kupanjatkan untuknya. Kuusap nisan yang bertuliskan Akbar Rahardian, anak semata wayang yang begitu cepat meninggalkanku.
"Semoga kamu tenang disisi-Nya, Nak," ucapku sambil menatap batu nisan yang terukir namanya. "Keinginanmu terkabul, sekarang ada calon adek bayi di perut Mama, jadi bakal ada yang gantiin Akbar jagain Mama." Isak tangis masih saja datang meski kepergiannya sudah lebih dari empat tahun.
"Sudah sore, Ma, kita pulang," ajak Mas Raka sambil menepuk bahuku. Aku mengangguk.
Kami pun beranjak lalu melangkah meninggalkan pusara yang telah mengubur jasad Akbar dan semua kenangan indah tentangnya.
Berjalan dalam keheningan, kurasakan desir angin menerpa seolah mengiringi langkah kami ke luar area pemakaman.
Saat sampai di ujung jalan pemakaman aku berhenti melangkah lalu menoleh kembali ke arah makam.
"Mama akan datang lagi, Nak, bersama adik-adikmu, insyaAllah," ucapku lirih.
Mas Raka menggenggam tanganku erat, kemudian mengangguk sebagai isyarat kami harus segera pulang.
Aku menyandarkan tubuh saat sudah masuk ke mobil. Penat rasanya diri dan hati setelah menghadapi peliknya persoalan rumah tanggaku dengan Mas Raka.
Aku memejamkan mata saat Mas Raka mulai melajukan mobil ke luar area pemakaman. Kurasakan sentuhan lembut Mas Raka di punggung tanganku, kemudian membawa ke pangkuannya, lalu dikecupnya lama.
****
Kami bergegas turun ketika mobil telah terparkir sempurna di pelataran, lalu melangkah ke rumah. Langkah ini terhenti saat kudengar suara tawa Kiya dari dalam rumah.
Bukan ... bukan suara Kiya yang membuatku menghentikan langkah, tapi ada suara tawa yang lain yang menimpali. Suara renyah seorang wanita, dan itu bukan suara bibi.
Aku menoleh ke arah Mas Raka yang juga tengah menatapku. Tanpa aba-aba kami pun mempercepat langkah kami.
"Reyna!" Kulihat Kiya tengah bermain bersama Reyna.
"Eh ... M--mbak Rasti, Mas Raka," sapanya gugup. "M--maaf, kalau aku mengganggu."
"Papaa ...." Kiya langsung menghambur ke pelukan Mas Raka.
"Ada apa? Gimana kondisi kamu?" tanyaku sambil meletakkan tubuh di sofa depan televisi. Sementara Mas Raka masih berdiri sambil menggendong Kiya.
"Alhamdulillah a--aku sudah sehat, Mbak."
"Syukurlah," ucapku sambil melirik Mas Raka.
"A--aku datang hanya mau pamit, Mbak, Mas." Reyna menunduk sambil memainkan ujung bajunya.
"Pamit?" tanyaku sambil mengerutkan kening.
"Iya, aku mau pergi dari kota ini, juga dari hidup kalian."
Kembali aku menatap Mas Raka yang masih bergeming.
"Maksudnya?" Aku bertanya dengan penasaran. Kupanggil bibi untuk mengambil Kiya dari gendongan Mas Raka.
"Aku mau minta cerai dari Mas Raka." Jawaban Reyna membuatku sedikit terkejut.
"Lalu, kamu mau ke mana?" cecarku.
"Entah, aku juga masih belum tau mau ke mana. Tapi sebelumnya, aku minta Mas Raka untuk menalakku saat ini." Bulir bening jatuh dari netranya. Aku menghela napas pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anakku Bukan Anakku
قصص عامةRasti harus ikhlas menerima takdir. Setelah sebelumnya dia kehilangan anak semata wayang, diapun harus bisa ikhlas merawat anak hasil selingkuhan suaminya. Memaafkan penghianatan suaminya dan berusaha memperbaiki kembali rumahtangganya yang telah r...