Setelah selesai mengurus semua keperluan bayi Reyna, aku dan Mas Raka pamit pulang. Menggendong dan membawa pulang anak hasil selingkuhan suamiku entah apa yang kurasakan. Aku hanya berharap ini adalah keputusan yang terbaik.
Bohong jika aku bilang aku ikhlas dan baik-baik saja. Sudut hatiku masih berdarah karena luka yang Mas Raka torehkan. Mungkin hal yang bisa kulakukan saat ini adalah bertahan, tak peduli meski bagaimana sakitnya. Karena akan lebih sakit jika harus kehilangan Mas Raka. Bodohkah aku?
Kupandangi bayi yang ada dipangkuanku. Terlelap dan tak terusik apapun. Wajahnya begitu polos menggemaskan, tak tega rasanya kalau dia harus tinggal di panti asuhan apalagi di tempat pela*uran.
"Ma ...." Mas Raka memanggilku sambil matanya tetap fokus ke jalan. Aku menoleh dan menatap wajah yang selalu jadi candu untukku.
"Makasih yaa." Diambilnya tangan kananku kemudian mengecupnya lembut.
"Untuk ....?" tanyaku.
"Untuk semua yang udah Mama lakukan buat Papa. Untuk kesabaran dan kesetiaan Mama mendampingi Papa. Maaf, untuk semua kesakitan yang Papa buat." Sudut matanya mengembun, aku menghela napas dan kembali menatap jalanan didepan.
"Mama hanya berusaha berdamai dengan takdir Pa, sekali ini Mama masih bisa bertahan. Rumah tangga kita sedang diuji, dan hanya ada dua pilihan buat Mama. Bertahan atau pergi. Dua-duanya memang bukan pilihan yang menyenangkan. Tapi paling tidak, dengan bertahan disisi Papa, kita bisa saling belajar untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi."
"Mama percaya bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Mungkin dengan begini Mama akan lebih berlapang dada menerima ujian yang Allah berikan," tuturku panjang lebar.
Mas Raka mengusap sudut matanya, ah ... lelakiku menangis. Aku berharap dia benar-benar menyesali perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi. Sebab aku tak bisa memastikan apa aku masih bisa bertahan saat dia melakukan kesalahan yang sama.
****
Setiap luka pasti akan sembuh, tapi aku tak pernah tau kapan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali menata hati yang terlanjur tersakiti. Mungkin butuh puluhan purnama hingga luka itu tersamarkan.
Menjelang maghrib mobil memasuki pelataran rumah. Mas Raka turun kemudian membukakan pintu untukku. Merengkuh pundaku seolah ingin melindungiku.
Setelah membuka kunci pintu kamipun masuk kedalam rumah, menyalakan lampu dan langsung menuju ke kamar untuk meletakkan bayi dalam gendonganku.
"Mama mandi dulu gih, biar seger," suruhnya. Akupun mengiyakan.
Baru saja hendak memakai sabun, terdengar tangisan bayi. Bergegas aku menyabuni tubuh sekadarnya, karena tangisnya makin kencang.
Saat keluar kamar kulihat Mas Raka tengah berusaha menenangkan anaknya. Sekelebat pikiranku melayang ke waktu empatbelas tahun silam. Seperti tengah melihat Mas Raka bersama baby Akbar.
"Ma ... udah selese?" Pertanyaan Mas Raka mengagetkanku.
"Heumm, udah Pa."
"Oya Ma, debaynya belum punya nama. Mau dikasih nama siapa?" Mas Raka menatapku yang baru selesai memakai baju. Aku berpikir sejenak, lalu melangkah mendekati Mas Akbar yang sedang mengayun-ayun anaknya.
"Boleh aku kasih nama Adzkia?" usulku.
"Adzkia? Heuhmm ... nama yang bagus. Kalo gak salah artinya cerdas, iya kan? Okeey, kita bisa memanggilnya Kiya." Mata Mas Raka tampak berbinar.
"Adzkia Salsabila, bagus?" Mas Raka menambahkan nama belakang Adzkia. Aku mengangguk setuju.
"Hey, baby Kiya ... selamat datang dirumah kita." Aku menowel pipi mulusnya gemes, dia menggeliat dengan menggerak-gerakan bibirnya. Lucu sekali. Aku dan Mas Raka tertawa melihat tingkahnya. Sejenak aku terhibur oleh baby Kiya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anakku Bukan Anakku
Narrativa generaleRasti harus ikhlas menerima takdir. Setelah sebelumnya dia kehilangan anak semata wayang, diapun harus bisa ikhlas merawat anak hasil selingkuhan suaminya. Memaafkan penghianatan suaminya dan berusaha memperbaiki kembali rumahtangganya yang telah r...