Part 13

5.8K 302 22
                                    


"Lepasin aku, lalu hiduplah bersama wanita itu," ucapku lirih. " Tapi tolong, biarkan Kiya bersamaku, jangan ambil dia dariku. Aku ikhlas melepasmu untuknya, tapi jangan bawa Kiya." Aku terisak pilu dalam pelukan Mas Raka.

"Nggak Ma, Papa gak akan ninggalin Mama, apalagi misahin Mama sama Kiya." Mas Raka makin erat memeluk tubuhku, mengecup pucuk kepalaku.

Aku menggeleng dan mengurai pelukan.

"Tapi aku gak bisa berbagi hati Mas, terlalu sakit untukku." Aku melangkah ke jendela, melayangkan pandang pada bintang yang berkelip diantara gulita.

"Tapi Papa juga gak bisa kehilangan Mama. Papa bener-bener nyesel Ma." Kurasakan tangan Mas Raka merengkuh tubuhku dari belakang.

Kuhela napas sambil memejamkan mata. Betapa hati inipun tak bisa jauh darinya. Tapi jika bersama ternyata sesakit ini, mungkin akan lebih baik jika aku pergi. Karena aku yakin, waktu akan jadi penyembuh untuk lukaku.

Aku memutar tubuh hingga kami berhadapan tanpa jarak. Kutatap manik hitamnya, hidungnya, bibirnya bahkan seluruh wajahnya kupindai. Wajah yang selama hampir delapanbelas tahun kumiliki, yang selalu menjadi alasanku untuk merindu.

"Bagaimana dengan Reyna?" tanyaku lirih. Aku menunduk untuk menata hati.

"Kalau Mama mau, Papa akan menceraikannya." Mas Raka menatapku tajam sambil memegang kedua lenganku.

"Semudah itu?" Kulepas pegangan Mas Raka lalu duduk di pinggir ranjang.

"Untuk Mama dan Kiya, apa pun akan Papa lakukan!" tegasnya.

"Lalu anak itu?" Aku manatapnya sinis. "Kamu punya solusi?"

Mas Raka menyugar rambutnya kasar. Melangkah ke jendela, dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana. Dia tampak bingung.

"Kamu bingung kan, Mas?" ejekku.

"Jangan pikir menceraikan Reyna itu mudah. Kalau dulu dia bisa mengancam, apalagi sekarang dengan statusnya sebagai istri. Ada hak anaknya di sana," paparku.

Mas Raka menengadahkan wajah, lalu menoleh padaku. Untuk beberapa detik kami saling tatap. Namun detik kemudian Mas Raka memalingkan pandangannya kembali.

"Pikirkan saja solusi terbaik untuk anakmu Mas."

"Ma ...." Mas Raka mendekatiku.

"Papa minta, bertahanlah di sini, di sisi Papa. Jangan pernah pergi," bisiknya lirih sambil berlutut didepanku.

"Maaf, aku gak bisa janji." Kutahan bening air yang mulai mengambang di pelupuk mata. "Aku hanya akan mencoba bertahan sampai batas yang aku bisa."

"Please, bertahanlah untukku dan untuk Kiya." Mas Raka terus menciumi jemariku lama.

****

Hoek!

Aku segera berlari ke kamar mandi. Sejak dari subuh kepala ini terasa berat. Badan seperti meriang dan perut terasa mual. Namun begitu masih kupaksakan untuk tetap beraktifitas seperti biasa.

"Mama kenapa?" tanya Mas Raka panik.

Tak kujawab tanyanya, karena perut masih seperti di remas-remas. Mual dan enek.

"Mama kecapekan, atau terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, jadi sakit kayak gini. Mungkin masuk angin, Ma." Mas Raka berusaha mengurangi mualku dengan memijit lembut tengkukku.

Setelah isi perut keluar semua, rasa mual sedikit berkurang.

Aku hendak kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan, tapi Mas Raka mencegah.

Anakku Bukan AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang