"Namanya Reyna, dia janda tanpa anak." Mas Raka memulai ceritanya.
"Papa ketemu dia sekitar satu setengah tahun yang lalu, saat Papa ada pekerjaan di kotanya. Dia bekerja sebagai waitres di sebuah kafe tempat Papa dan temen-temen kantor menghabiskan waktu setelah urusan pekerjaan selesai. Beberapa kali ketemu membuat kami menjadi akrab dan dekat. Saat Papa datang ke kafe dia sering nemenin ngobrol meski cuma sebentar. Awalnya semua biasa saja, tak ada yang istimewa, hanya obrolan ringan biasa." Mas Raka berhenti sejenak, mengambil napas sambil tangannya terus menggenggam jemariku.
"Saat harus mengurus pekerjaan lagi di kota itu, Papa berangkat sendirian hanya bersama supir kantor. Dari situlah semua berawal. Demi membuang jenuh karena gak ada temen, Papa ajak dia jalan atau sekedar menemani Papa makan."
Dadaku mulai sesak, mataku mulai panas. Namun sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak menangis. Mas Raka menunduk, kemudian melanjutkan lagi ceritanya.
"Sampai akhirnya kami bertukar nomor handphone. Obrolan kami pun berlanjut melalui pesan-pesan singkat. Pekerjaan di sana yang tak kunjung selesai membuat pertemuan kami makin intens. Entah siapa yang memulai akhirnya kami menjadi sangat dekat." Mas Raka mengusap wajahnya kasar, kemudian menatapku, seolah memastikan kalau aku baik-baik saja.
Aku, meski hatiku sakit, tapi aku berusaha memberi ruang untuk Mas Raka melanjutkan ceritanya.
"Makin seringnya kami berbalas pesan saat berjauhan, membuat ada dorongan untuk sering pergi menemuinya. Hingga suatu hari terjadilah hal yang tidak seharusnya kami lakukan." Mas Raka menatapku dengan sorot penyesalan. Tangannya terus menggenggam jemariku, seolah tak ingin melepaskan.
Inilah bagian dari cerita Mas Raka yang paling membuatku terluka. Mendengar pengakuan bahwa dia pernah tidur dengan wanita lain. Pertahananku jebol, tak mampu lagi menahan banjir airmata. Aku menepis tangan Mas Raka, tapi dia semakin erat menggenggam jemariku.
Aku menangis tergugu, sakit sekali rasanya."Ma ... maafin Papa." Mas Raka menarikku kedalam pelukannya. Aku berontak mencoba melepaskan diri. Tapi Mas Raka makin erat memelukku. Mengusap kepalaku sambil terus mencium keningku.
"Papa mengaku salah, tapi demi Allah kasih Papa kesempatan sekali saja untuk memperbaiki semuanya. Dan satu hal yang harus Mama tau, Papa sudah mengakhiri hubungan sebelum tau Reyna hamil Ma. Sekitar dua bulan setelah Papa putusin hubungan dia kasih tau kalo dia hamil." Mas Raka masih memelukku erat, karena tangisku makin kencang.
Beberapa saat setelah tangisku agak mereda, Mas Raka melepas pelukannya. Menangkup kedua pipiku, mengusap jejak basah di wajahku dan membenahi rambutku yang berantakan.
"Ceraikan aku Mas," pintaku.
"Nggak! Papa gak akan ceraiin Mama." Mas Raka menolak dengan tegas. "Papa mengaku salah, Papa akan terima apapun hukuman yang Mama berikan, tapi jangan pernah minta cerai Ma, please ....! Papa mencintai Mama."
Aku menatap manik matanya yang kehitaman, berusaha mencari kebenaran di sana. Sebesar apa pun kesalahannya, nyatanya aku tak bisa membencinya. Ada rasa tak tega saat melihat mata itu menatap penuh harap.
"Kamu harus bertanggungjawab pada bayi itu Mas." Aku mendesah.
"Papa tahu, dan Papa akan melakukannya," jawab Mas Raka.
"Bagaimana caranya," cibirku.
"Seluruh kebutuhannya akan Papa penuhi."
"Apa kamu pikir bayi itu hanya butuh materi!" geramku. "Dia juga butuh sosok ayah yang bisa menjaga dan melindunginya."
"Terus Papa harus gimana Ma?" Mas Raka menyandarkan punggungnya di kursi sambil menyugar rambut.
Allah ... seberapa pun luka yang dia berikan tetap saja aku tak tega melihatnya seperti itu.
"Mas, diantara kita tak ada lagi ikatan anak yang mengharuskan kita tetap bersama. Sedangkan antara kamu dan Reyna ada bayi itu, dia membutuhkanmu, ayahnya."
Sontak Mas Raka menegakkan punggungnya.
"Sudah kubilang aku tidak akan menceraikanmu Rasti!" teriak Mas Raka murka. Aku sampai berjengit karena kaget.
"Maaf ...." Mas Raka memegang bahuku, kemudian menarikku kembali kedalam dekapannya. Menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Aku dalam kegamangan.
Jujur, kalau harus berpisah dengan Mas Rama aku sendiri tak yakin aku akan sanggup. Tapi jika Mas Raka harus menikahi Reyna karena bayi itu, aku juga tak akan sanggup untuk dimadu. Berbagi hati dengan wanita lain pasti akan sangat menyakitkan. Tetapi membiarkan bayi itu hidup tanpa kehadiran seorang ayah juga bukan pilihan yang bijak.
Hingga azan ashar bergema kami masih saling diam, Mas Raka masih dalam posisi memelukku dengan menyandarkan punggungnya di sofa. Belum ada jalan untuk nasib bayi itu.
****
Aku sedang menyiapkan makan malam saat Mas Raka mendekatiku.
"Ma ...." Dia mengulurkan ponselnya padaku. Aku menatapnya bingung.
"Ada apa?" tanyaku.
"Reyna ...." Ucapannya terhenti saat aku mengambil ponselnya. Kubuka aplikasi hijau digawai Mas Raka. Membaca pesan dari Reyna.
[Laki-laki macam apa kamu Mas, bahkan untuk melihat anakmu pun kamu gak mau..!!]
[Kalo Mas gak mau tanggung jawab menikahiku aku akan buang anak ini ke panti asuhan atau bahkan ketempat pelacuran...!!] ancamnya.
Aku terkesiap membacanya. Ibu macam apa dia, tega-teganya mau membuang anaknya sendiri, bahkan ke tempat pelacuran. Aku menoleh dan menatap Mas Raka.
"Nikahi dia Mas." Aku menyerahkan ponsel Mas Raka.
"Nggak, Ma!" Mas Raka terus berkeras tak mau menikahi Reyna.
Aku melangkah menuju ke meja makan, menarik kursi dan menjatuhkan bobot tubuhku di kursi. Mengusap sudut mata yang mulai berkabut.
"Kita makan saja dulu Mas." Kupaksakan bersikap setenang mungkin. Mungkin dengan mengisi perut, kami bisa berpikir lebih tenang dan akan menemukan jalan keluar dari masalah ini.
Kulayani Mas Raka seperti biasa. Menyendokkan makanan ke piringnya kemudian memberikan ke Mas Raka. Seperti juga aku, Mas Raka pun seperti tak bernafsu untuk makan, hanya saja kami butuh asupan makanan agar tubuh kami tetap terjaga.
Baru beberapa kali suapan, aku seperti mendapatkan pencerahan.
"Mas ...." panggilku.
"Heuhmm ...." jawabnya sambil mengunyah makanan.
"Telpon Reyna, katakan besok Mas ke sana," cetusku
"Tapi Ma ...."
"Kita akan ke sana besok." Aku memotong ucapan Mas Raka.
"Kita ...?" tanyanya bingung.
"Iya, aku gak mungkin melepas suamiku menemui wanita lain sendirian," sindirku.
"Papa kirim pesan aja Ma." Mas Raka mengambil ponselnya kemudian mengetik pesan. Beberapa saat kemudian terdengan gawai Mas Raka berbunyi. Mungkin Reyna membalas pesan Mas Raka.
"Gimana?" tanyaku. Mas Raka menyodorkan ponselnya.
[Alhamdulillah, aku tunggu mas] pesan balasan dari Reyna.
****
Next
Alhamdulillah bisa juga ngetik part 4, meski harus nyambi ini itu.
Makasih buat yang selalu setia membaca ceritaku. Like dan komennya ditunggu gaeess...
KAMU SEDANG MEMBACA
Anakku Bukan Anakku
Ficção GeralRasti harus ikhlas menerima takdir. Setelah sebelumnya dia kehilangan anak semata wayang, diapun harus bisa ikhlas merawat anak hasil selingkuhan suaminya. Memaafkan penghianatan suaminya dan berusaha memperbaiki kembali rumahtangganya yang telah r...