Aku menatap gadis kecilku yang terus melompat-lompat riang menyusuri mall bersama Fatia. Kiya begitu manja dengan Fatia, mungkin dia rindu sosok kakak. Usia Fatia tiga tahun lebih tua dari Kiya, jadi dia bisa ngemong layaknya seorang kakak.
Aku dan Marsya melangkah mengikuti dua gadis kecil kami sambil sesekali tertawa melihat tingkah lucu keduanya.
"Kita langsung pulang Ras atau mau mampir kemana lagi?" tanya Marsya.
"Pulang saja Sya, bentar lagi waktunya Kiya tidur siang," jawabku.
Marsya mengangguk mengiyakan.
Kami melangkah beriringan menuju tempat parkir."Ups, aku lupa belum pesen taksi." Aku menepuk jidat.
"Aku anterin aja Ras, sekalian."
"Gak usah Sya, ntar ngrepotin, jadi muter-muter kamunya." Kutolak halus tawaran Marsya. Sambil melangkah pelan aku hendak memesan taksi online ketika sudah didekat tempat parkir.
"Papaaa ...." teriak Kiya.
Sontak mataku langsung mengikuti pandangan Kiya. Disana, tak jauh dari tempatku berdiri tampak Mas Raka bersama wanita yang tak ingin kusebut namanya.
Seketika mataku memanas, melihat pemandangan didepanku. Terlihat Mas Raka meletakkan kantung belanjaan di kursi belakang lalu membukakan pintu mobil untuk wanita itu.
"Papaa ...." Kiya berlari menyusul Mas Raka sebelum aku sempat mencegahnya.
Mas Raka terkejut saat melihatku dan Kiya. Aku mematung, kakiku seolah terpaku diatas bumi yang kupijak. Marsya merengkuh pundakku seolah ingin mengalirkan kekuatan.
Sesaat aku tersadar, kuseka mata yang mulai mengembun. Melangkah cepat menyusul Kiya yang sudah berada digendongan Mas Raka.
"Kiya, kita pulang sayang," ucapku lembut.
"Kiya mau sama Papa!" tolaknya.
Aku menghela napas pelan menahan nyeri didada.
"Ma, ma-maaf ... Papa ma--"
"Kiya katanya mau beli es krim, lupa?" Tak kuhiraukan kata-kata Mas Raka.
Matanya berbinar saat mendengar kata es krim.
"Kiya beli es krim sama Kak Fatia yuk." Marsya ikut membujuk Kiya agar mau ikut dengan kami.
Kiya mengangguk senang kemudian merosot dari gendongan Mas Raka.
Mas Raka menatapku sayu, tapi aku melengos tak ingin melihatnya. Kugamit tangan kecil Kiya lalu berbalik hendak meninggalkan Mas Raka.
"Marsya!"
Mendengar namanya dipanggil, Marsya pun menghentikan langkah lalu menoleh.
"Titip Rasti sama Kiya," pinta Mas Raka.
Kulihat Marsya hanya mengangguk tanpa kata.
"Sya, boleh aku kerumahmu?" tanyaku lirih.
Tanpa menjawab, Marsya membawaku ke mobilnya. Membukakan pintu untuk anak-anak, lalu membukakan pintu juga untukku. Kemudian dia memutar menuju pintu kemudi. Dia paham apa yang saat ini aku rasakan.
"Ma, Kiya mau es krim," rengek Kiya. Rupanya dia ingat janjiku untuk membelikannya es krim.
"Sebentar sayang, nanti kita mampir beli es krim di minimarket depan ya," jawab Marsya lembut.
Aku menyandarkan kepala dan memejamkan mata, lagi-lagi aku terisak. Marsya mengusap pundakku tanpa kata. Kugigit bibirku untuk meredam isak tangis yang hampir jebol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anakku Bukan Anakku
Ficción GeneralRasti harus ikhlas menerima takdir. Setelah sebelumnya dia kehilangan anak semata wayang, diapun harus bisa ikhlas merawat anak hasil selingkuhan suaminya. Memaafkan penghianatan suaminya dan berusaha memperbaiki kembali rumahtangganya yang telah r...