"Dua kali Rasti! Dua kali! Dan kamu masih saja bertahan demi laki-laki penghianat seperti dia!" Bapak benar-benar tak lagi bisa menahan emosinya. Aku diam tak bisa berkata-kata.Air matapun jebol membanjiri pipi. Seolah ingin mengadu kepada bapak dan ibu tentang lara yang mendera. Tak lagi ingin menangis sebenarnya, hanya saja melihat bapak begitu marah dengan fakta yang kini kuhadapi, aku merasa begitu bersalah sudah membuat mereka khawatir kepadaku.
"Kamu sudah dibutakan oleh cinta Rasti!" Napas bapak tersengal-sengal, dadanya naik turun karena emosi.
"Sabar Pak, tahan emosi Bapak." Ibu mengusap punggung bapak untuk meredakan amarahnya.
"Astaghfirullahal'adziim." Bapak menyandarkan tubuhnya sambil mengucap istighfar.
"Maafkan Rasti, Pak." Aku terisak melihat amarah bapak.
Aku bisa merasakan bagaimana sakit hatinya bapak menerima kenyataan bahwa putrinya kembali dihianati.
Mas Raka, dia hanya bisa pasrah saat tadi bapak lagi-lagi menampar pipinya. Dia hanya menunduk tak berani menatap wajah bapak.
Hal yang bisa kulakukan hanya menjauhkan Mas Raka dari amukan bapak. Di rumah ini ada orang lain, yaitu bibi. Bagaimanapun dia seorang pemimpin keluarga. Jangan sampai hilang wibawanya didepan seorang pembantu.
Mas Raka bergegas menaiki mobilnya dan berlalu menuju ke tempat Reyna. Sementara aku hanya bisa mengiringi kepergiannya dengan tatapan kosong.
****
Setelah salat shubuh aku melangkah keluar. Kulihat ibu sedang sibuk membantu bibi di dapur.
"Pagi, Bu," sapaku sembari menjatuhkan tubuhku di kursi meja makan. Kutuang teh yang sudah diseduh oleh bibi, lalu menambahkan sedikit gula kedalamnya.
"Pagi juga, Ras," jawab ibu tanpa menoleh kepadaku.
"Masak apa, Bu?" Kusesap teh yang masih mengepul asapnya.
"Ini, bapakmu minta bikin bihun goreng sama semur ayam."
"Bapak masih di masjid, Bu?"
"Mungkin. Ibu belum melihatnya pulang."
"Mama ...." Kudengar suara Kiya memanggilku.
"Eh, cantiknya Mama udah bangun." Bergegas kuhampiri Kiya yang sudah berdiri di pintu kamar, lalu meraihnya dalam gendongan.
"Mau bikin susu?" tawarku.
Kiya mengangguk sambil memeluk leher dan menjatuhkan kepalanya dibahuku.
"Bi, tolong bikin susu buat Kiya." Bibi mengangguk, kemudian dengan cekatan tangannya meracik susu untuk Kiya.
"Papa mana?" rengeknya.
"Papa kerja sayang," jawabku sambil meraih botol susu yang diberikan bibi. "Ini susunya diminum."
Beruntung kehamilanku tak terlalu rewel, hanya perlu ekstra hati-hati saja karena umurku yang tak lagi muda. Menggendong Kiya pun tak bisa sering-sering.
Harum masakan ibu memenuhi ruangan. Jarum jam baru menunjuk di angka setengah tujuh, tapi perutku sudah berteriak minta diisi. Mungkin bawaan bayi, jadi cepet lapar.
****
"Pak!"
Bapak menoleh ke arahku sejenak lalu kembali sibuk dengan barang-barangnya.
"Bapak kok beberes baju, mau pulang?" tanyaku sambil duduk di tepi ranjang.
"Bukan cuma Bapak, tapi kita," jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anakku Bukan Anakku
Aktuelle LiteraturRasti harus ikhlas menerima takdir. Setelah sebelumnya dia kehilangan anak semata wayang, diapun harus bisa ikhlas merawat anak hasil selingkuhan suaminya. Memaafkan penghianatan suaminya dan berusaha memperbaiki kembali rumahtangganya yang telah r...