Part 10

6.5K 328 38
                                    

Happy reading gaeess...
Pinta sederhana dari author, tinggalin jejak dengan komen dan like yeeayy

****

Kubaringkan raga yang lelah ini di pembaringan. Sendiri mendekap sunyi. Tak kurasakan lagi kehangatan cinta dari lelaki yang selalu kusebut namanya dalam doa.

Aku tersedu, sekuat apa pun aku mencoba untuk tegar, tetap saja hati ini berdarah. Delapan belas tahun lebih aku mendampingi dan mengabdi sebagai seorang istri. Bahkan ketika aku harus ikhlas menerima anaknya bersama Reyna. Kurawat dan kusayangi selayaknya anak kandung sendiri.

Tuhan, jika aku harus pergi darinya apa aku juga harus kehilangan Kiya? Namun jika aku bertahan bersamanya bagaimana dengan hati ini? Apakah aku sanggup menjalani semua? Beribu tanya berjejal di kepalaku.

Sungguh, aku merindu sekaligus juga membencinya. Rindu dekap hangatnya, rindu aroma tubuhnya, juga rindu tatap mesranya. Tapi aku benci saat mengingat ada rahim perempuan lain yang tengah mengandung benihnya.

Aku meraung di balik selimut, kuredam dengan bantal agar suara ini tak sampai terdengar oleh Kiya. Ah ... Kiya, apakah aku berhak membawanya pergi?

Kiya adalah bukti sebuah penghianatan, dan aku memaafkannya. Haruskah aku memaafkan lagi penghianatan kali ini?

Lelah dengan semua yang menimpaku, lelah dengan air mata yang terus mengalir, akhirnya aku pun terlelap dalam isak tangis.

****

Mata ini mengerjap saat kurasakan sebuah tangan kokoh melingkar di perutku. Mas Raka, dia tengah memelukku saat ini. Ada hangat yang membuncah di dada.

Sejenak aku terbuai dan menikmati pelukan Mas Raka, hingga detik kemudian aku menggeliat kasar berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Namun Mas Raka semakin erat memelukku.

"Tolong, biarkan seperti ini, Papa kangen Mama," ucapnya lirih. Mas Raka makin dalam membenamkan wajahnya di ceruk leher belakangku.

Hangat napasnya menyapu leher, aku memejamkan mata dan menghela napas pelan. Kurasakan leher ini basah, mungkin Mas Raka menangis.

Aku diam mematung tanpa ingin berbalik. Jujur, kurasakan kenyamanan luar biasa dalam dekapannya seperti ini. Untuk cinta akankah selalu ada maaf?

"Lepasin, Mas, sudah kubilang aku tak sudi kamu menyentuhku!" desisku tajam. Mas Raka masih bergeming.

"Maaf ... maaf." Suaranya terdengar bergetar. Entah apa yang dirasakannya saat ini.

"Maaf untuk semua rasa sakit yang sudah Papa berikan. Maaf untuk kebohongan yang sudah Papa lakukan. Tapi satu hal yang harus Mama tau, tak sedikit pun Papa berniat mengkhianati Mama, cinta ini masih tetap sama, hanya untuk Mama." Mas Raka terisak.

Melihatnya seperti itu hati ini teriris. Amarahku kalah oleh cinta yang menggunung. Daripada logika, perasaanku lebih mendominasi. Aku berbalik dan menatapnya dengan pandangan yang mengabur.

"Kamu masih bilang cinta? Sementara di luar sana ada seorang wanita yang tengah mengandung janinmu? Cinta macam apa itu, Mas?" decihku.

"Papa terpaksa menikahinya karena dia mengancam mau mengambil Kiya dari kita." Penjelasan Mas Raka sempat membuat mata ini terbelalak.

"Maksudmu?" tanyaku meminta penjelasan.

"Sekitar hampir setahun lalu Reyna menemui Papa. Meminta Kiya dikembalikan padanya. Melihat Kiya tumbuh menggemaskan dia merasa berhak mengambilnya kembali dari kita. Dengan alasan dia kesepian hidup sendiri." Mas Raka menjeda kalimatnya dengan menghela napas.

"Berkali-kali dia hendak nekat menemui Mama dan mengambil Kiya, tapi Papa selalu berhasil mencegahnya, hingga akhirnya dia memberikan pilihan untuk Papa."

Anakku Bukan AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang