Pagi-pagi setelah selesai sarapan aku dan Mas Raka langsung meluncur menuju kota di mana Reyna tinggal. Selama dalam perjalanan kami lebih banyak diam, berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Aku lebih memilih untuk memandang ke luar mobil, menatap pemandangan di sepanjang jalan yang kami lalui.
Aku menoleh ke arah Mas Raka saat kurasakan jemari ini disentuh. Dengan lembut dikecupnya, kemudian dibawa ke pangkuan. Aah ... sikapnya memang selalu semanis ini padaku. Dia tau bagaimana cara mencintaiku. Lalu, apakah aku bisa jika harus melepasnya pergi?
Aku mengembuskan napas kasar. Melepas sesak yang kembali menguasai dada.
"Kenapa, Ma?" Mas Raka mengusap pipiku.
"Jangan bersikap semanis ini padaku, karena aku harus mulai membiasakan diri tanpamu."
"Mama ngomong apa, sih!" sentaknya.
Aku tak memedulikannya. Mataku tetap fokus menatap keluar mobil. Tak ada lagi obrolan di antara kami. Menyandarkan kepala dan memejamkan mata, mencoba untuk rileks. Menata hati agar lebih tenang.
****
Setelah dua jam lebih kami menempuh perjalanan, akhirnya mobil memasuki kota yang kami tuju. Menyusuri jalanan kota yang mulai padat kendaraan, mobil berbelok memasuki kawasan perumahan sederhana. Tak lama kemudian Mas Raka menghentikan mobil di depan sebuah rumah kecil dan sederhana.
"Udah sampe, Ma." Mas Raka melepas seatbelt dan membuka pintu mobil bersiap turun. Aku masih bergeming. Entah kenapa dada ini mendadak riuh bergemuruh. Sekeras apa pun aku mencoba untuk tenang, tetap saja ada amarah yang bergejolak di dada.
"Ma ... ayo," ajak Mas Raka. Aku mengangguk.
Mas Raka menggandeng tanganku menuju rumah minimalis itu.
"Assalamualaikum." Mas Raka mengetuk pintu dan mengucap salam.
Terdengar suara seorang wanita menjawab salam Mas Raka.
Pintu terbuka seiring dengan munculnya wajah perempuan yang lumayan cantik.
"Mas ...." Senyum yang tergambar langsung memudar saat dia melihatku. Dia terlihat gugup. Pandangan matanya kemudian beralih ke arah tangan Mas Raka yang terus menggenggam tanganku erat.
"Aku memenuhi janjiku untuk datang ke sini, melihat anakku." Mas Raka langsung mengatakan niat kedatangannya tanpa basa basi.
"Dan ... ini istriku, Rasti." Mas Raka mengenalkanku, yang hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh Reyna.
"M-masuk dulu Mas ... Mba," ajak Reyna gugup.
Kami mengikuti Reyna masuk ke dalam rumah. Aroma minyak telon menguar begitu kami berada di dalam rumah. Wangi khas bayi.
Kami bertiga duduk, aku bersisian dengan Mas Raka, sedang Reyna duduk di hadapan yang terhalang meja.
"Rey ...." Mas Raka memulai pembicaraan. Reyna terlihat tegang. "Bagaimana bayimu," tanya Mas Raka.
"Bukan bayiku Mas, tapi bayi kita!" Reyna meluruskan kata-kata Mas Raka. Lagi-lagi hatiku tercubit.
"Y-yaa, bayi kita," sahut Mas Raka sambil melirikku gugup.
" Ada di kamar, lagi tidur. Apa Mas gak pengin liat?" sindir Reyna.
"Nanti saja, takut kebangun."
"Jadi ... gimana Mas keputusanmu? Menikahiku atau bayi kita aku titipkan ke panti asuhan?" Reyna bertanya sambil meliriku sekilas.
"Maaf Rey ... aku tak bisa menikahimu, seperti yang kamu tau, aku sudah beristri, dan aku gak mungkin menceraikannya, aku sangat mencintainya." Mas Raka kembali menoleh sambil menarik tanganku ke pangkuan. Reyna melirik sekilas. "Tapi aku janji akan bertanggung jawab penuh atas semua kebutuhan anak kita Rey."
"Untuk menikahiku, Mas tak harus cerai dengan Mba Rasti kan?"
"Tapi aku tak mau dimadu," sahutku cepat. "Aku sudah memintanya untuk melepasku dan menikahimu, tapi Mas Raka gak mau."
"Rey, aku tau ini salah, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku janji gak akan menelantarkanmu juga anak itu." Sepertinya Mas Raka masih enggan menyebut bayi itu dengan kalimat "anak kita". Mungkin hanya untuk menjaga perasaanku.
"Percayalah, seluruh kebutuhan anak itu aku akan menanggungnya," sambung Mas Raka.
Reyna menatap kami dengan sinis.
"Mas pikir aku dan bayimu hanya butuh materi? Kami juga butuh status Mas, status sebagai wanita bersuami dan seorang anak. Kalo Mas gak bisa nikahin aku, maka bayimu aku aku buang ke panti asuhan atau aku jual ke tempat pelacuran." Reyna mulai emosi dengan sikap Mas Raka yang kekeuh tidak mau menikahinya.
"Rey!" bentak Mas Raka. "Aku udah kasih solusi, kenapa kamu memperumit semuanya. Ibu macam apa kamu yang tega membuang anak sendiri."
"Aku ibu macam apa? Lalu Mas sendiri ayah macam apa? Haahh!" balas Reyna sengit. Aku masih diam melihat perdebatan mereka.
"Aku bilang aku akan bertanggung jawab menafkahinya sebagai seorang ayah, tapi aku tidak bisa menikahimu." Mas Raka masih mencoba menjelaskan.
"Tapi aku tidak mau merawat anak kita sendirian Mas! Aku mau kamu nikahin aku, itu saja!" Mata Reyna berkaca-kaca.
"Cukup!" bentakku. Keduanya terkesiap menatapku. "Apa masalah bisa selesai dengan kalian terus berantem?" tanyaku tegas.
Suara tangis bayi mengalihkan perhatian kami. Mungkin teriakanku tadi cukup keras hingga membangunkan tidurnya. Reyna bergegas ke kamar untuk melihat bayinya. Aku dan Mas Raka saling memandang. Tak lama Reyna kembali keluar kamar.
"Reyna ...!" Kutatap Reyna yang mulai sudah kembali duduk. "Bagaimana jika aku yang merawat anakmu?" tanyaku. Reyna dan Mas Raka terkejut .
"Ma ..." Mas Raka terkejut mendengar keputusanku.
"Mama yakin ....?" tanyanya. Aku mengangguk mantap.
"Apa ada jaminan anakku akan baik-baik saja sama Mba Rasti?"
"Dia akan jauh lebih baik ada dalam perawatanku dari pada di panti asuhan apalagi di tempat pelacuran," jawabku tegas.
"Bagaimana Rey?" tanya Mas Raka. "Kamu bisa melanjutkan hidupmu. Mencari pasangan yang memang benar-benar mencintaimu dan bisa membahagiakanmu. Tentang kita adalah suatu kesalahan, tak pernah ada cinta untukmu, aku minta maaf." ucap Mas Raka.
Reyna menunduk sambil memainkan jemarinya. Mungkin sedang berpikir dan menimbang tawaranku.
"Boleh aku melihat bayimu?" tanyaku.
Reyna menatapku kemudian mengangguk. Melangkah ke kamar yang tak jauh dari tempat kami berada. Tak lama dia keluar lagi dengan menggendong bayinya. Hatiku berdesir. Anak Mas Raka, batinku ... sudut hatiku nyeri.
Spontan aku dan Mas Raka berdiri untuk melihat bayi itu. Cantik, kulitnya putih bersih. Lalu aku mengambilnya dari gendongan Reyna.
"Hei sayaang, cantik sekali." Kuelus pipinya yang masih sangat lembut. Mas Raka hanya menatap saja, entah apa yang dia rasakan.
"Gimana Rey, apa aku boleh merawatnya?" Aku mengulangi permintaanku.
Reyna menatapku lama.
"Rey, mungkin ini solusi terbaik untuk kita semua," tambah Mas Raka.
"Aku janji akan merawatnya dengan baik." Reyna masih menatapku yang menggendong anaknya.
Aku tidak tahu keputusanku ini benar atau tidak. Aku hanya memberikan jalan terbaik bagi kami bertiga. Reyna tak perlu menuntut Mas Raka untuk menikahinya, pun aku tak harus bercerai atau dimadu. Reyna masih menyandang statusnya sebagai janda tanpa anak dan Mas Raka bisa bertanggungjawab penuh terhadap anaknya.
"Baiklah, aku menyerahkan anakku untuk kalian rawat." Akhirnya Reyna memutuskan untuk menyerahkan anaknya kepada kami.
Mas Raka tersenyum lega. Aku? Entahlah ....
****
Next
Gaeess...makasih yang udah mau mampir di ceritaku...😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Anakku Bukan Anakku
General FictionRasti harus ikhlas menerima takdir. Setelah sebelumnya dia kehilangan anak semata wayang, diapun harus bisa ikhlas merawat anak hasil selingkuhan suaminya. Memaafkan penghianatan suaminya dan berusaha memperbaiki kembali rumahtangganya yang telah r...