Part 9

5.2K 315 32
                                        

"Mama ...." Mata Mas Raka membulat demi melihatku ada di hadapannya saat ini. Demikian juga dengan wanita yang sedari tadi digandengnya.

Mas Raka melepaskan genggam tanggannya pada wanita itu, lalu maju selangkah hendak mendekatiku. Aku  melangkah mundur sambil terus menggelengkan kepala, sebagai isyarat agar ia tak mendekatiku.

"Ma ...." Mas Raka berhenti melangkah dengan tatapan memohon.

Aku berusaha untuk tetap waras dengan tidak menjerit dan memaki mereka berdua di tempat ini. Aku masih sadar ada Kiya dalam gendonganku. Sekuat tenaga kukuatkan kaki agar tetap bisa menopang bobot tubuhku.

"Apa kurangku Mas? Sampai kamu tega menusukku dari belakang!" desisku penuh penekanan. Mataku mulai mengabur karena airmata yang terus membanjir.

"Ma, kita bicarakan ini di rumah ya," bujuk Mas Rama sambil mengikis jarak.

"Apa salahku Mas! Apa masih kurang pengorbananku selama ini untukmu ... haaahh!" Mataku nyalang menatapnya.

"Papa ...." Kiya terbangun dan memanggil Mas Raka lirih.

"Kiya, kenapa sayang?" Mas Raka segera mengambil alih Kiya dari gendonganku.

"Ma, Kiya sakit? Badannya panas sekali." tanya Mas Raka. Berkali-kali tangannya menyentuh kening Kiya. Aku hanya diam tak menjawab sambil menatap wanita dengan perut buncit yang tadi bersama Mas Raka.

"Rey, kamu pulang naik taksi. Aku harus bawa Kiya ke dokter sama Rasti," perintah Mas Raka.

"Tapi Mas ...." protes Reyna.

"Aku tidak sedang bernegosiasi Rey, ini perintah." Reyna mendengkus menuruti perintah Mas Raka.

"Kita masuk Ma." Mas Raka menarikku untuk masuk ke dalam klinik, tapi aku segera menepis tangannya. Mas Raka berhenti melangkah dan menatapku sesaat, "Kita bicara nanti di rumah, sekarang kita fokus dulu sama kondisi Kiya Ma."

Ya ... hanya demi Kiya aku mengabaikan perasaan nelangsa yang menggelayut di dada. Aku mengekor di belakang Mas Raka memasuki klinik. Tak peduli tatapan heran dari para pengunjung lain yang tadi sempat melihat adegan kami di depan klinik.

****

Mobil melaju pelan membelah senja. Bias jingga mulai memudar berarak menuju gelap. Sejak keluar dari area klinik kami masih saling diam. Jangankan untuk bersuara, bahkan untuk bernapas pun rasanya aku tak bisa.

Sesak memenuhi rongga dada. Ingin sekali rasanya berteriak sekencang mungkin demi untuk menghilangkan rasa yang menghimpit. Namun lagi-lagi sisi kewarasanku membuatku menahan semuanya.

Adakah yang bisa mengerti bagaiamana hancurnya perasaanku saat ini? Mendapati lelaki yang selalu bertahta di hati ternyata berhianat untuk kedua kalinya. Sesak kian meraja. Dengan tangan gemetar kuusap air mata yang kembali membanjir membasahi pipi.

Mas Raka mengemudi sambil berkali-kali menoleh kepadaku. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini.

Sampai dipelataran rumah Mas Raka segera membukakan pintu mobil untukku. Diambilnya Kiya dari gendongan, kemudian tangannya meraihku untuk membantuku turun dari mobil. Namun segera kutepis tangannya. Rasanya tak sudi dia menyentuh kulitku. Terdengar Mas Raka menghembuskan napas kasar, tapi aku tak peduli.

Langkahku seolah tanpa tenaga. Pengabdian dan ketulusanku selama ini sebagai istri dibalas dengan penghianatan adalah kenyataan yang harus aku hadapi.

"Papa tidurin Kiya di kamar depan dulu ya Ma, biar kita bisa bicara berdua." Aku tak menjawab, langkahku terus memasuki kamar.

Meski tubuh terasa lemas aku memaksakan diri untuk langsung mengambil air wudhu untuk segera melaksanakan salat maghrib yang hampir lewat.

Tubuhku berguncang karena isak tangis, dalam sujud aku meraung melepas beban yang sedari tadi menghimpit.

Anakku Bukan AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang