Part 15

6.4K 314 10
                                    


"Ma ...."

Aku menoleh dan mendapati Mas Raka sudah berdiri di pintu kamar. Namun hanya sesaat, karena detik kemudian aku kembali menghadap ke jendela. Melayangkan pandang pada gerimis yang menaburkan butiran halusnya.

"Mama mikirin apa?" Kurasakan lengan kokoh Mas Raka memelukku dari belakang.

Aku masih bergeming menatap taman kecil yang mulai basah oleh air hujan yang mulai menetes deras.

Mas Raka menyusupkan wajahnya di ceruk leherku. Menghirup aroma tubuhku. Diluar kamar kudengar tawa riang putri kecilku yang sedang menikmati tayangan televisi kesayangannya.

"Besok jadi ke rumah Reyna?" tanyaku tanpa menoleh.

"Kalau Mama ijinin, kalau nggak ya nggak jadi. Papa tetep disini," jawabnya sambil meletakkan dagunya di bahuku.

" Pergilah! Aku baik-baik saja. Ada Kiya yang menemaniku," jawabku sarkastik.

"Maafn Papa, sudah membuat semuanya jadi rumit."

Enggan menjawab kata-katanya, kulepaskan pelukan Mas Raka lalu berjalan keluar kamar menemani Kiya. Kucium pipinya berkali-kali sampai Kiya tergelak.

Bersamanya aku bisa melupakan semua nestapa. Celoteh lucunya selalu membuat bibirku melengkung sempurna.

Mas Raka menyusul dan bergabung dengan kami di depan televisi.
Tangannya mulai usil menggelitik perut Kiya hingga bocah kecil itu terpingkal-pingkal. Melihat itu mau tak mau aku ikut tertawa.

"Kiya mau adek cewek apa cowok?" tanya Mas Raka sambil memeluk Kiya yang berada diantara aku dan Mas Raka.

"Kiya mau cewek," jawabnya lantang.

"Coba perut Mama dielus-elus biar adeknya Kiya yang keluar nanti cewek," titah Mas Raka. Kiya pun langsung mengusap-usap perutku.

"Adeknya mana Ma, kok diem aja,"  tanyanya lucu.

"Adeknya masih kecil, belum bisa gerak, sayang." Mas Raka ikut meletakkan tangannya di perutku.

Akhirnya mereka berdua mulai berebut untuk mengusap-usap perut diiringi gelak tawa Kiya dan Mas Raka.

Allah, akankah kebersamaan kami segera berakhir?

****

Sudah tiga hari ini Mas Raka tidur di rumah Reyna. Kurasakan seperti ada sesuatu yang hilang. Seperti inikah rasanya berbagi suami?

Aku memang sudah mencoba dan berusaha untuk ikhlas. Namun tetap saja hati ini terluka menghadapi kenyataan bahwa waktu suamiku harus terbagi dua. Bukan lagi milikku seutuhnya.

Luka memang akan selalu membekas meski aku sudah berusaha untuk mengobatinya. Nyatanya luka itu tidak bisa membuatku bersikap egois dengan melarang Mas Raka membagi waktunya untuk Reyna.

Aku sadar dan paham bagaimana Reyna membutuhkan Mas Raka disisinya disaat-saat hamil tua seperti itu.

Malam sudah begitu kelam, namun netraku tak juga mau terpejam. Akhirnya aku beringsut turun, dan pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Diatas hamparan sajadah ini kuadukan segala gelisahku. Kupusatkan segenap jiwa dengan doa-doa yang terus kulangitkan. Karena hanya kepada Dia sesungguhkan aku bersandar.

Usai berbincang dengan Sang Maha Mendengar, aku kembali berbaring dan merebahkan diri disamping gadis kecilku yang sudah terlelap dari tadi. Rasa lelah dan penat akhirnya membuat mataku akhirnya mengarungi dunia mimpi.

****

"Maaf Ma, aku terpaksa harus memilih untuk bersama Reyna." Kata-kata Mas Raka begitu menghujam jantungku. Aku limbung, tak menyangka jika Mas Raka akan mengambil keputusan seperti ini.

"Tapi Pa, bukannya Papa selalu bilang gak mau pisah sama Mama?!" jeritku tertahan.

" Papa gak bisa membiarkan Reyna sendiri Ma. Sementara Mama gak mau poligami. Dan akhirnya keputusan Papa adalah memilih bersama Reyna."

Aku meratap dan memohon agar Mas Raka jangan pergi meninggalkanku.

"Bukannya Mama yang selalu meminta kita berpisah? Padahal sudah berkali-kali Papa mengaku salah dan meminta maaf, tetapi salalu tak dianggap sama Mama!"

Aku tersedu di kaki Mas Raka. Sementara tak jauh disana, kulihat Reyna berdiri menatap kami dengan senyum sinisnya. Merasa menang telah berhasil mengambil Mas Raka dariku.

Tanpa peduli padaku, Mas Raka berbalik meninggalkanku. Melangkah mendekati Reyna. Mas Raka menyambut uluran tangan Reyna lalu keduanya pergi meninggalkanku yang menangis histeris.

"Mas Rakaaa ....!"

Aku terbangun dengan keringat membasahi tubuh. Pendingin udara tak mampu menyejukkan tubuh yang berpeluh.

'Astaghfirullah, cuma mimpi,' ucapku sambil mengusap wajah.

Kulirik jam dinding menunjukan angka empat lewat. Beruntung teriakanku tadi tak membangunkan Kiya. Aku beringsut ke kamar mandi untuk bersiap-siap menyambut shubuh.

Kembali mengudarakan doa, agar diberikan keikhlasan hati, dan juga kedamaian untuk keluarga kecilku.

Merintih dan meminta kepada Sang Maha Pengabul Doa agar diberikan jalan keluar terbaik untukku dan Mas Raka juga Reyna.

Cukup lama aku bersimpuh, merasa betapa kerdilnya diri ini. Bukankah setiap yang terjadi pada makhluk di bumi ini adalah atas kehendakNya. Bahkan daun kering yang jatuhpun juga pasti atas kehendak dan ijinNya.

****

"Ibu udah bangun?" sapa bibi begitu aku memasuki dapur.

"Iya Bi, tolong bikinin roti bakar, saya lapar," pintaku sambil duduk di meja makan.

"Iya bu." Bibi segera mengeluarkan roti dan semua pelengkapnya.

Kusesap teh panas yang sudah disiapkan bibi di meja makan sambil menunggu roti bakarnya siap.

"Ibu kurang tidur?" tanya bibi sambil menyorongkan roti bakar yang masih panas kehadapanku.

"Iya Bi, saya gak bisa tidur semalem."

"Ibu kepikiran bapak?"

Bibi memang belum lama kerja disini, tetapi sikapnya benar-benar membuatku seperti mempunyai ibu baru. Lembut dan penuh kasih.

"Entahlah Bi." Aku menghela napas lalu menghembuskannya pelan-pelan.

Kusesap lagi teh panas didepanku kemudian melahap roti bakar coklat yang masih hangat.

"Ikhlaskan Bu, jika Ibu ikhlas in syaa allah hati ibu menjadi lapang. Karena pada hakikatnya manusia itu sudah ditentukan takdirnya oleh Yang Maha Kuasa. Kita hanya menjalani saja."

Aku menatap bibi tak percaya. Wanita paruh baya yang terlihat begitu sederhana tapi mampu mengatakan hal-hal bijak seperti itu.

"Maafkan Bibi, kalau Bibi sudah lancang menasehati Bu Rasti." Bibi menunduk melihatku menatapnya lama.

"Nggak Bi, justru saya berterima kasih sudah diingatkan dan dikasih wejangan sama Bibi," ujarku sambil mengulas senyum tulus padanya.

"Ah, Ibu ... itu bukan wejangan kok tapi hanya sesama wanita yang pernah mengalami hal yang sama dengan Bu Rasti."

"Bibi dipoligami?!"

"Iya, karena Bibi tidak bisa punya anak." Bibi menjawab sambil menunduk.

"Maaf Bi, jadi bikin sedih Bibi."

"Nggak apa-apa Bu, hanya sedikit berbagi cerita, agar Ibu tidak merasa sendiri." Bibi tersenyum lalu pamit untuk mengerjakan pekerjaan dapur.

Kugigit lagi sisa roti bakar yang mulai dingin. Mengunyahnya pelan sambil menatap foto pernikahan yang tergantung di atas dinding televisi.

Teringat bagaimana waktu itu aku begitu bahagia. Bersanding dengan lelaki yang langsung memintaku kepada orang tuaku. Benar-benar lelaki sejati. Mas Raka tak memintaku jadi pacarnya. Tapi langsung meminangku untuk menjadi istrinya.

****

Next?

In syaa allah cerita ini akan tamat di part 20. Ikuti terus gaess...makasih..makasiihh...














Anakku Bukan AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang