Part 2

7.2K 446 5
                                    

Helloooww gaeess....masih mau baca cerita ini...?? Cuussss aaahhh....

***

Terdengar pintu kamar dibuka, Mas Raka, ibu dan ayah mertua serta orang tuaku masuk dengan cemas.

"Rasti ...." Ibuku duduk di pinggir ranjang dan mengusap kepalaku. Aku bangkit, kemudian memeluk ibu, menangis di bahunya yang mulai rapuh.

Ibu membiarkan aku menangis, mengusap punggung untuk memberi kekuatan. Setelah dirasa tenang Ibu mengurai pelukan. Mengusap pipiku yang basah oleh air mata.

"Rasti, kematian itu takdir, umur manusia tak ada yang tau sampai kapan. Begitu juga dengan Akbar, jalan kematiannya sudah digariskan. Sedih itu wajar, tapi jangan sampai kita meratapi sebuah kematian," papar ibu panjang lebar.

"Sekarang Mama makan ya, dari pagi perut Mama belum keisi makanan," ujar Mas Raka. Tak ingin membuatnya sedih aku pun mengangguk.

"Biar Ibu ambilkan makanan, sekalian buat kamu juga, Ka, kamu juga dari tadi belum makan, sekalian temenin istrimu makan." Ibu mertuaku berinisiatif untuk mengambilkan makanan untukku. Beruntung aku mempunyai mereka, mertua dan orang tua yang sangat baik.

Tak lama ibu mertua kembali dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.

"Kalian makanlah dulu." Ibu mertua pun meletakkan nampan itu di atas nakas sebelah ranjang. Ibuku bangkit dari duduknya dan memberiku ruang untuk mengambil makanan yang terhalang oleh tubuhnya.

"Makanlah, agar tubuhmu mempunyai tenaga untuk esok hari." Kemudian Ibu dan yang lainnya berlalu dari kamar. Tinggal aku berdua dengan Mas Raka.

"Kita makan ya, Ma." Mas Raka mengambilkan makanan dan menyuapiku. Aku mengunyah makanan pelan, sambil menatap Mas Raka. Saat air mataku kembali menetes, buru-buru Mas Raka menghapus air mata ini.

"Jangan nangis lagi, ikhlaskan. Papa gak mau Mama sakit." Mas Raka pun mengusap pipi ini lembut.

Mas Raka terus menyuapiku dan juga menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri. Kami pun makan dalam diam.

****

Seminggu setelah kepergian Akbar, rumah kembali sepi. Orang tua dan mertuaku sudah pulang ke rumah mereka. Aku merasakan kesepian luar biasa. Merindukan celoteh riang Akbar. Meski dia anak laki-laki tapi dia dekat sekali denganku. Dia selalu menceritakan semua aktifitasnya, dan aku akan selalu menjadi pendengar yang baik untuknya. Teringat obrolan kami dua hari sebelum kepergiannya.

"Ma, kok Akbar gak punya adek sih. Kan seru kalo punya adek, rumah jadi tambah rame. Kayak si Bimo tuh, adeknya nggemesiin, Akbar sukaa. Apalagi kalo adeknya cowo, Akbar jadi ada temen buat main bola di rumah." Dia bicara sambil tangannya sibuk mengambil camilan.

"Berdoa saja supaya Mama hamil dan Akbar bisa cepet punya adek." Aku tersenyum sambil mengusap lembut kepalanya.

"Itu pasti Ma, biar kalo Akbar pergi Mama gak sendirian di rumah, ada yang nemenin Mama."

"Emangnya Akbar mau pergi kemana?" tanyaku.

"Sekolah," jawabnya singkat. "Kalo Akbar sekolah, Mama sendirian 'kan di rumah?" lanjutnya lagi.

"Euhm ... iya sih," jawabku.

"Ma ...." Aku terkesiap merasakan bahuku ditepuk seseorang. Ternyata Mas Raka.

"Ngelamun?" Mas Raka kemudian duduk di sebelahku.

"Keinget Akbar, Pa ...." Aku melabuhkan kepala di bahu Mas Raka.

Digenggamnya tangan ini, seolah memberi kekuatan agar aku tetap tabah dan ikhlas atas kepergian Akbar. Selama seminggu Mas Raka tak pernah mebiarkanku sendirian. Ada saja caranya agar aku bisa melupakan kesedihanku.

Anakku Bukan AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang