Part 18

7.3K 311 21
                                    


Happy reading guys..

Anakku Bukan Anakku

****

Aku melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Ya, kuputuskan untuk datang ke sini. Entah apa yang mendorongku untuk datang. Atas nama cinta atau hanya sebuah rasa empati? Entahlah.

Sampai di ruang melahirkan, kulihat Mas Raka duduk dengan kondisi tubuh yang sangat kacau. Dia masih memakai baju yang semalam dia kenakan. Rambut acak-acakan. Duduk menyandar sambil memejamkan mata.

"Mas ...." Aku memanggilnya pelan, takut dia sedang tidur.

Namun dengan cepat dia membuka mata, dan langsung menghambur memelukku.

"Makasih, Ma. Sudah mau datang menemani Papa." Mas Raka menyelusupkan wajahnya ke ceruk leherku. Untuk beberapa detik dia terus memelukku hingga aku mengurai pelukan kemudian mengajaknya kembali duduk di kursi tunggu.

"Bagaimana kondisi Reyna?"

"Masih belum stabil." Mas Raka menggenggam jemariku dan membawa ke pangkuannya. "Dokter sedang mengusakan agar dua-duanya bisa selamat, tanpa harus mengorbankan salah satunya."

Deg!

Ada rasa yang tak bisa kuungkapkan. Meski aku membencinya, tapi mendengar kondisinya sisi kemanusiaanku tetap saja tak tega.

Kusandarkan tubuh sejajar dengan Mas Raka. Hening, tak ada lagi percakapan. Aku hanya berharap semua akan baik-baik saja. Tak ingin mendoakan hal-hal buruk untuk Reyna dan bayinya.

"Keluarga Ibu Reyna!"

Bergegas Mas Raka bangkit dan melangkah menuju pintu ruang bersalin di mana tadi seorang perawat memanggilnya.

"Bagaimana suster, bagaimana kondisi istri saya?" tanya Mas Raka. Aku mendekat dan berdiri disebelah Mas Raka.

"Silakan masuk, Pak. Dokter ingin bertemu Anda."

Mas Raka menatapku sekilas, lalu menarikku untuk mengikutinya masuk ruangan.

Kami melangkah beriringan memasuki ruang bersalin. Tampak Reyna tengah merintih di tempat tidurnya. Di pojok sebelah kanan ada dokter yang sedang duduk menunggu kami.

"Mas ... Mbak Rasti!" Reyna tampak terkejut melihatku ada bersama Mas Raka. Kami mendekatinya sebelum menemui dokter.

"Mas ... aku sudah gak kuat, sakiit ...!" Mata Reyna basah oleh air mata. "Aku menyerah," ucapnya lemah.

"Bertahanlah, dokter sedang berusaha melakukan yang terbaik untukmu dan bayi kita." Mas Raka mengusap kepala Reyna, sedang sebelah tangan yang satu tetap menggenggam erat jemariku.

"Mbak ... maafkan aku." Reyna beralih menatapku dengan mata yang terus berkaca-kaca.

"Tenanglah, berdoa terus. In syaa allah semua akan baik-baik saja," ujarku sambil mengusap lengannya.

Jangan tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Riuh bergemuruh di dalam dadaku, bercampur aduk jadi satu. Namun satu hal yang harus kulakukan, tak ingin bertingkah konyol dalam situasi seperti ini. Berjiwa besar dan berlapang dada mungkin itu lebih baik.

****

"Kami harus memilih, siapa yang harus kami selamatkan. Ibu atau bayinya," tegas dokter. Mas Raka menatap nanar kepada sosok dokter di depannya. Lidahnya kelu tak bisa mengambil keputusan.

"Selamatkan ibunya, Dok!" putusku.

Mas Raka sontak menoleh padaku. "Ma--"

"Tolong, Dok. Selamatkan ibunya." Aku memotong kata-kata Mas Raka.

Anakku Bukan AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang