🍁
- dekat, mengenal -
.
.
_______Untuk kedua kalinya Vito membawa Chika—gadis yang ia tahu adalah anak dari bosnya sendiri kedalam lingkup kecilnya. Ke tempat sederhana yang dirinya maksud, Vito benar-benar membawanya berbaur disini, di tempat terbuka dengan sedikit hawa dingin sisa hujan sore tadi.
Mendengarkan setiap celotehan yang keluar dari gadis ini. Vito—sebelumnya bukanlah orang yang baik dalam mendengarkan orang lain, tapi terkecuali Chika. Malam ini, mereka seakan berbagi ruang untuk saling masuk dan mengenal. Meskipun hanya dominan Chika yang banyak mengeluarkan kata.
Tapi Vito suka. Entah berapa lama tak pernah terjebak dalam situasi yang seperti ini. Berdua, menjadikan telinganya juga waktunya sebagai alat penghibur gadis yang tadi sempat kecewa.
Satu hal yang baru Vito tahu ; Chika bawel.
"Mamih itu orangnya sebenarnya keras tau, eumm—lebih ke tegas galak sih, kadang."
"Oh yah?"
Chika mengangguk, ia terkekeh mengingat ketika dia selalu dimarahi Aya karena hal yang menurut Chika sepele dan wajar, atau mendebatkan hal yang Chika sebenarnya juga tau jawabannya apa. "Banget, parah sih dia, biar enggak lembek anaknya, katanya. Mamih juga orangnya pekerja keras. Pernah aku protes soal kerjaan Mamih yang hampir 24/7, Mamih bilang 'Mamih tuh enggak mau kalau Chika sama Christ apa-apa harus susah, makanya Mamih kerja, buat kalian. Padahal enggak gitu kan? Kadang Mamih selucu itu." Ujar Chika, sekali melirik Vito untuk mengiyakan ucapannya. Vito asik memakan gorengannya, mengangguk pelan mengerti apa yang dimaksud selucu itu dari Chika.
"Gue kayaknya lebih milih minta mobil sama apartemen di hari itu juga, udah jelas bakal di kasih. Daripada minta waktu Mamih, bisa nunggu 1 minggu buat kosong."
"Papih lo?"
"Sama aja. Lebih parah—maybe." Chika menoleh kilas, "Mereka selalu ngejar uang. Padahal hidup bukan soal uang, meskipun ya dengan uang kita bisa punya hidup." Kali ini Vito pun mengiyakannya, Vito setuju dengan pernyataan uang dan hidup. Orangtuanya juga begitu, hingga Vito benci sibuk demi punya banyak uang jika harus mengorbankan kehilangan separuh hidupnya.
"Banyak orang yang bilang, jadi Chika enak, punya segalanya, anak pebisnis, entertainment, uangnya ngalir, ya hidupnya terjamin. Enggak mikirin besok jadi apa? Tinggal duduk angkat kaki, udah enak." Chika terkekeh mengingat berapa banyak kekayaan orangtuanya, ingat pula berapa banyak orang yang ingin menjadi dirinya.
"Tapi mereka enggak tau kalau gue miskin kasih sayang dan kebersamaan." Lirihnya yang masih bisa didengar baik oleh Vito. Vito masih terdiam, telinganya masih mau mendengarkan segala apa yang Chika ucapkan.
Bagaimana gadis cantik ini mengungkapkan isi hatinya, perihal kerinduan atas keluarga. Chika mempunyai segalanya, tapi segalanya juga tak menjamin sebuah kebahagiaan yang sempurna.
Tuhan memang kadang adil, yang kekurangan kadang kaya akan kebersamaan dan cinta, tapi bisa sebaliknya—sama seperti Chika ataupun dia sendiri.
"Gue kangen."
Sekilas mungkin Vito merasakan kesepian dan kehilangan waktu kebersamaan sebuah keluarga yang Chika rindu. Pun dia, yang sudah lebih dulu kehilangan dan tidak merasakannya, cukup lama. Dia tahu betapa rasa hampa, sepi dan seolah tak punya apa-apa meskipun dihidupnya punya segalanya. Vito tahu perasaan itu, dan tak semua orang bisa realeted dengan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT [SELESAI]
FanfictionBertaut, jiwa manusia dan egoisnya menyatu, belajar memahami dan juga menerima. Bahwa ; masa lalu adalah perihal damai untuk masa depan.