🍁
- penenang -
.
._________
"Chikaa..."
Suara lirih memanggil namanya masih mampu Chika dengar, suara yang berhasil membuatnya sampai ke sini, ke rumah Vito untuk pertama kalinya. Pandangan Chika tak lepas sedikitpun dari lelaki yang terbaring lemah ditempat tidur. Mata coklatnya menyusuri setiap inci pahatan wajah Vito yang tegas.
Chika tidak tau pasti apa yang sebenarnya terjadi pada Vito, ia datang dengan sebuah khawatir, bermodal nekat pula. Semakin panik juga khawatir kala Chika melihat bagaimana Vito menggigil seraya memeluk tubuhnya sendiri di atas lantai. Tetapi, yang mampu Chika lihat adalah tatapan luka yang jelas dimata Vito, Chika mampu merasakan itu.
Aran bilang, hal yang selalu terjadi setelah perseteruan dengan keluarganya adalah Vito demam. Itu sudah menjadi hal lumrah, katanya. Tapi Chika mengartikannya berbeda, sedalam itukah artinya luka yang memeluk seorang Vito, membuat Vito yang tangguh menjadi seorang Vito yang kembali menjadi terlihat begitu lemah untuk sekian kalinya. Dan lagi, Chika menjadi saksi luka dan patah yang Vito rasakan, jauh dari seorang Vito yang konyol di luar sana.
Manusia adalah manipulasi terbaik mengenai perasaan.
Dan ya, Vito barangkali berhasil membodohi semua orang dengan sikapnya, tapi Chika mulai memahami Vito, ia menatap lelaki di hadapannya beda.
"Belum bangun kah?" Chika menoleh, menggeleng pelan sebagai jawaban, ia menggeser tubuhnya, memberikan ruang pada Aran untuk menaruh nampan yang dia bawa pada nakas, "Udah siang, apa enggak dibangunin aja, Vito harus makan dan juga minum obatnya."
"Kayaknya nanti aja deh, biarin dia istirahat sebentar lagi, Vito baru bisa tidur dengan tenang, nanti biar gue yang urus. Eumm-Lo kalau mau pulang atau ke Kopine_ dulu atau bolos juga enggak papa Ran, ntar gue yang bilang sama Mami."
"Gue tunggu dibawah aja, dan thanks buat itu, tapi kayaknya enggak perlu karena gue udah keluar dari Kopine_ mbak Chika."
"Eh?"
Aran terkekeh melihat raut kaget seorang Chika-anak bosnya beberapa hari yang lalu sebelum keputusan bulatnya adalah keluar. Memang, tiga hari yang lalu Aran memutuskan untuk keluar dari Kopine_ coffeeshop, tempat dimana dirinya diterima dengan baik oleh banyak orang. Dan jelas saja, itu bukan karena kehendaknya tetapi tuntutan dari orangtuanya.
Katanya ; Aran dilahirkan untuk mengurusi perusahaan bukan melayani orang bersantai. "Santai aja lagi mukanya. Jadi, karena gue bukan karyawan lo lagi, enggak papa kan enggak pake embel-embel embak Chika? Hahaha."
Chika mendengus, ia menyandarkan tubuhnya pada dinding, tidak lupa melipat kedua tangannya di depan dadanya, "Dari dulu juga enggak menuntut buat dipanggil embak, enggak begitu nyaman juga dipanggil embak, kan gue bukan orang Jawa tapi orang Medan, atau terbiasa dipanggil Kak Chika sih bukan Mbak Chika sama Christyan. Eum, By the way, lo keluar bukan karena gaji di Kopine_ kurang kan?" Pertanyaan Chika tersebut berhasil membuat Aran tertawa, Aran mengangkat tangannya ketika melihat tatapan menusuk dari Chika karena dia tertawa. Jelas Aran tau jika Chika tak mau kalau Vito terusik karena obrolan mereka karena jelas sedari tadi menggunakan suara yang lirih, atau tawa Aran yang keras membuat Chika terlihat begitu kesal. "Sorry kelepasan gue ketawanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT [SELESAI]
FanfictionBertaut, jiwa manusia dan egoisnya menyatu, belajar memahami dan juga menerima. Bahwa ; masa lalu adalah perihal damai untuk masa depan.