[ 18 ]

1.2K 142 20
                                    

🍁

-  Pilihan -

_____________

Vito, barangkali mau dinobatkan menjadi sosok yang paling keras kepala, silahkan. Rasanya, dia pantas menyandang nya, bahkan Amel memakinya kemarin setelah mendengarkan cerita yang sebenarnya dari mulut Satya.

Vito tak mendengar dengan jelas bagaimana Amel berbicara kemarin, ia pikir beberapa tahun yang lalu, apa yang sudah dilewatinya adalah wajar, meskipun orang-orang tak begitu menyetujui pewajaran yang Vito maksud. Ya, Vito besar dengan dipeluk erat luka, Vito tumbuh dengan amarah pelik yang selalu menghantam dadanya menjadi sesak. Sekali lagi, ini kesalahannya, Vito mau mengakui hal tersebut. Setelah kemarin kejadian pertemuannya dengan Shani—sang Bunda yang tak disengaja, Vito mau melibatkan dirinya sendiri dengan kesalahan.

Ya, dia salah.

Hingga saat ini, Vito masih berperang dengan perasaannya sendiri.

Jika kita bicara seandainya Vito mengetahui lebih awal, seandainya dirinya tak dicekal ego pasti hubungannya dengan Shani, atau dengan keluarga barunya dimana ada Gracio, Fiony dan Jevin—yang Vito tau adalah anak dari sang Bunda bersama Gracio itu pasti akan baik-baik saja, mungkin akan menjadi keluarga harmonis, ya katanya.

Tapi kenyataan pahit yang Vito dapatkan, bahwa kematian Raja Alvin Shakell sang Ayah semakin menutup matanya untuk mempercayai Shani, bunda nya. Vito tumbuh bersama egoisnya, bersama marah dan juga bencinya, tapi kini Vito bangun dengan rasa bersalahnya.

Tapi mungkin benar bahwa ; ini bukanlah kesalahan satu pihak dalam sebuah hubungan.

"Kemarin Kak Yona bilang ada investor yang mau gabung buat project shakell.company, lo mau ikut ketemu besok?" Vito menggeleng pelan, tatapannya masih pada kalender yang ada di sebelah figura keluarganya, Vito, Shani dan juga Vino, tersenyum dengan penuh kebahagiaan di sana, bersantai dengan senyum juga tawa lepas di pulau Maafushi, Maladewa. Ah—Vito lupa, kapan terakhir berlibur dengan keluarganya.

Aran sedikit memiringkan kepalanya melihat apa yang tengah menjadi perhatian Vito, tungkainya tertarik mendekat, meletakan cangkir kopi cappucino saset yang dia buat, Aran memancing melihat apa yang menarik di depannya, hingga dia menyadari satu hal, "oh, i see—besok nyokap lo ulangtahun kan?" Tangannya menunjuk pada angka yang selalu terlingkari oleh tinta biru.

"Iya."

"Lo mau dateng?"

"Enggak."

Vito terkekeh, tangannya bergerak meraih spidol hitam untuk mencoret beberapa garis miring pada tanggal 5 dimana sang Bunda ulang tahun. "Kayaknya enggak pantes juga gue dateng, buat apa?" Tubuh Aran ikut memutar, arah matanya mengikuti langkah Vito—sahabatnya yang memilih duduk di sofanya. Aran menyandarkan punggungnya pada tepi meja, menyembunyikan kedua tangannya didalam saku celana pendek, "Lagian lo juga kan tau sendiri, udah berapa tahun gue melewatkan moment yang bersangkutan sama Bunda. Kayaknya, enggak akan lucu gue dateng tiba-tiba sok asik, apalagi lo enggak akan melupakan ini pasti, kenyataan atau pernyataan gue kemarin sama beliau udah kelewatan juga." Jelasnya.

"Yaelah drun, kelakuan lo selama ini juga udah kelewatan." Vito mengangguk mengiyakan, "Tapi Bunda lo enggak mengubah sikapnya ke lo, dia mah sayang-sayang aja sama lo, mau se-dakjal apapun tingkah lo ke dia. Ayolah, tante Shani tuh Bunda idaman semua kalangan. Dia juga pasti udah ngelupain hal kemarin, mau se-kurang ajar apa lo ke dia tetep aja lo anaknya, maaf lo pasti tetep diterima."

BERTAUT [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang