[ 12 ]

1.2K 142 57
                                    

🍁

-  kamu pergi, kami kehilangan tanpa sempat bicara lebih lama  -

.
.

_______

Kehilangan—siapa juga yang ingin merasakan kehilangan? Dipaksa melepaskan sosok yang selalu mengisi hari, dipaksa untuk terbiasa tanpa sosoknya yang setiap hari ada bersamanya, dipaksa mengikhlaskan sosok yang menjadi bagian dari hidupnya untuk berpindah tempat lebih indah bersama Tuhan. Tentu, sebagian orang akan menolaknya, begitupula dengan Chika. Toh tak pernah ada perpisahan yang benar-benar baik-baik saja, sekalipun itu dengan sebuah pamit yang cukup meyakinkan sebuah pertemuan lagi, nantinya. Lalu, bagaimana jika perpisahan tanpa banyak ucap, perpisahan tanpa persiapan. Terkurung dengan penyesalan dan dipeluk luka.

Dia hancur, dia terluka.

Vito kali ini berdiri cukup berjarak dari seorang Yessica Tamara, gadisnya. Memberikannya ruang sekali lagi bersama Christyan, laki-laki kesayangannya. Vito memperhatikannya lekat, bagaimana Chika tetap berada disamping Christyan—sang adik yang terbujur kaku didalam peti, tangannya yang masih mampu menggenggam tanpa balasan yang hangat. Mulutnya masih mendengungkan permohonan untuk kembali, juga meminta pada Tuhan sebuah keajaiban untuknya. Setiap katanya semakin membuat hati tersayat, sesak dalam dadanya semakin mengundang iba beberapa orang. Tangis yang tertahan menjadi sampul bahwa Chika sebenarnya tak benar-benar baik-baik saja.

Sesekali terdengar Chika berbicara tentang pertandingan, atau juga permintaan maafnya, telinganya juga tak pernah absen dari suara tangis pilu tak rela, Vito merekam segala yang terjadi di sini dengan amat baik. Bahwa ; Chika rapuh, Chika tak mampu. Bukan, sebenarnya bukan hanya dia yang mengalami dukanya, dibalik Chika wanita paruh baya—Aya—bosnya, Mamih Chika dan Christyan, sama seperti Chika atau bahkan lebih dari yang Chika rasakan, beliau tanpa banyak bicara tetapi tangisnya sudah menggambarkan bahwa sama hancurnya. Dia Aya, sepanjang Vito mengenalnya, Aya adalah sosok wanita yang selalu memperlihatkan ketegasannya, juga kadang kelucuannya, atau tawanya yang mengundang tawa orang lain, dan kini tengah dipeluk duka pula, atau bahkan lebih dalam luka sekarang.

Mungkin, yang paling disesali oleh seorang Aya sebagai ibu kali ini adalah tak pernah mampu menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya, menyepelekan sebuah kebersamaan dan juga waktu, mengabaikan segala permintaan sepele Christyan, ini akan menjadi sebuah tamparan terbesar bagi Aya, Angelo Christyan si bungsu memilih menghilangkan selamanya soal pertemuan dan juga kebersamaan. Bahwasanya itu takkan pernah ada lagi bersama Christyan.

Atau Puccho—sosok laki-laki paruh baya yang berwibawa dan tegas, yang kali ini masih nampak tegar meskipun masih terbaca bahwa dirinya sangat hancur dan terluka, tetapi dipaksa baik-baik saja agar tak mengundang duka dan luka yang semakin dalam, dipaksa untuk baik-baik saja demi dua wanita berharganya—Chika dan Aya. Dia semakin dipaksa kuat, ketika cengkraman pada pelukannya terasa berat dan tak berdaya. Puccho pun terluka, ayah mana yang akan baik-baik saja ketika kehilangan anaknya, jagoannya?

Tak pernah ada yang siap dengan perpisahan seperti ini.

Tatapannya kosong, bahkan selama ibadah penghiburan, Chika mengikuti dengan baik tetapi seakan tak pernah ikut serta, Chika kosong. Khotbah juga pujian pada Tuhan Chika dengar dengan baik, sesekali berbicara pada tubuh Christyan. Rasanya masih seperti mimpi baginya, Chika masih meminta pertolongan dan keajaiban Tuhan untuk kembalikan Christyan—adik kesayangannya ini.

BERTAUT [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang