[ 14 ]

1.1K 135 35
                                    


🍁

-   Menyapa, tak sempat berbicara banyak -

.
.

________

"Gue enggak nyangka, gue minta kedatangan Satya ke lo tempo hari itu buat narik ke perusahaan, tapi ternyata kayaknya ini lebih baik—eum—narik lo buat kembali ketempat yang paling tepat, ya tante Shani, bunda lo. Kali pertama Satya bekerja meleset tetapi terlihat lebih baik." Ucap Amel seraya memberikan jamuan kecil pada sahabatnya yang sudah seperti adiknya sendiri itu.

Vito menghela nafasnya, ia ingat kejadian beberapa hari yang lalu, bagaimana mungkin dirinya melupakannya.

'Bunda'

Satu kata yang berhasil keluar dari mulut Vito kemarin. Vito melemah, tak mampu ia melanjutkan setiap kata yang sudah dirinya pelajari, hanya terhenti di panggilan yang sudah lama tak dia keluarkan. Bunda—dia ingat betul bagaimana suara hangat Shani menyapanya, suara lembut dibumbui nada khawatir kala dirinya hanya terdiam kelu tidak mampu menjawabnya, ia ingat juga bagaimana suara parau Shani yang menahan tangisnya hanya karena mendengar suaranya memanggil sebutan terindah untuknya ; Bunda. Shani wanita kuat meskipun beberapa kali dia kalah menghadapinya.

Entahlah, Vito tak tau apakah Shani mengharapkan lebih banyak kata dari sekedar panggilan darinya saja? Jika iya, mungkin kemarin Vito akan lebih banyak bicara. Tapi, seharusnya memang iya, sudah berbulan-bulan hubungan mereka terlihat tak begitu baik, sekarang ada sekat diantara mereka.

Vito yang tak mampu berdamai dengan keadaannya, atau Shani yang mengharapkan semuanya kembali dengan baik. Aran bilang, 'tak akan pernah paham isi hati seseorang jika tak saling bicara' ya—mungkin Vito merasakannya pula. Ia benar-benar tak bisa memahami Shani sang Bunda, sejak kematian Alvino Shakell. Atau Bunda yang sebenarnya tak mampu memahaminya lebih dalam? Tapi, suaranya yang Vito dengar kemarin, dirinya mampu menyimpulkan bahwa Shani tak sedikitpun menggeser posisinya, beliau masih paham dirinya dengan rinci, beliau masih memperhatikannya dengan detail.

Ya, setidaknya itu yang Vito dapatkan hanya karena suara Shani yang terdengar begitu menghantam debaran jantungnya.

Harusnya Vito berterima kasih pada Tuhan akan Shani yang masih baik-baik saja atas sikapnya selama ini, Shani sosok Bunda yang kuat setengah mati untuknya. Tapi rupanya Vito lebih payah, ia memilih untuk memutuskan panggilan teleponnya kemarin tanpa sempat mengatakan apapun. Dia memilih menutup mata segala hal yang Shani berikan untuknya.

Ya, Vito payah.

Helaan nafas itu kembali keluar dengan kasar, "Gue bahkan enggak pulang, maksudnya belum berniat kembali ketempat yang tadi lo bilang baik." Ucap Vito, Amel menggeleng pelan gak setuju, ia mengambil duduk di samping lelaki berkepala batu ini.

"Itu cuma istilah, gue rasa lo kaya udah dapet panggilan, lagi mau berapa lama coba? Mau sejauh apapun lo pergi dan hilang, lo bakal tetep dihantui rasa enggak jelas yang lo simpulin sendiri, yang bikin nyiksa lo sendiri, bakal tetep sama kalau lo enggak mulai mulai ngobrol."

"Gue tau banget sih perwatakan lo yang batu ini, enggak heran." Lanjut Amel, seraya mengambil potongan sandwich kedalam mulutnya.

"Bukan gitu, cuma gue belum siap aja. Seandainya benar, berarti gue ngebuka lagi lukanya."

Amel mengangguk, dia tahu luka yang dimaksud oleh Vito, sesuatu yang masih menjadi permasalahan paling besar. "Seandainya salah, lo jatuhin diri lo sendiri ke luka yang paling besar lagi, bukannya itu lebih nyiksa yah? Menurut gue juga enggak ada yang siap—maksudnya, lo sama tante Shani masih sama-sama kejebak di kata 'menunggu waktu.'  yang jelas kalian berdua sama-sama paham juga, kayaknya persoalan waktu yang tepat itu enggak akan dateng sendiri kalau bukan adanya niat baik dari masing-masing buat membicarakan hal itu."

BERTAUT [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang