🍁
- perpisahan, kehilangan dan pengganti pewajaran dalam kehidupan -
.
._____
"Lo enggak pulang?"
"Lo ngusir gue?" Amel-gadis itu menghela nafasnya, menaruh handuk yang sedari tadi nangkring di atas kepalanya. Menatap punggung Vito yang masih betah berdiri dengan pembatas balkon sebagai tumpuan nya.
Sebenarnya adanya Vito di apartemennya bukanlah sebuah ancaman, sudah jadi hal yang biasa apartemen nya menjadi rumah untuk Vito. Tapi ada hal yang tak pernah dirinya kenali dari Vito-atau pernah tetapi sudah lama tak pernah ia temui nya lagi.
Seorang Vito yang banyak diam, merenung dan menyendiri, beberapa hari belakangan.
"Kayaknya gue cuma nanya, kasih tau gue dimana letak pengusiran yang lo maksud."
"Lo kenapa drun?" Pertanyaan itu pada akhirnya lolos setalah tidak mendapatkan respon atas pernyataannya barusan.
"Gue bingung."
Tungkai Amel pada akhirnya terseret pula, mendekat setalah mendengar penuturan Vito-sahabatnya, "Soal Mira?" Anggukan itu Vito berikan sebagai jawaban. Amel memilih duduk di sana, menunggu penuturan lain keluar dari Vito.
Sudah empat hari semenjak kabar pernikahan Mira dan Florence digemborkan lewat undangan. Sebenernya, atau seharusnya bukan masalah, Vito seharusnya ikut berbahagia, karena pada akhirnya Mira memilih orang yang tepat untuk menjaganya.
Lebih dari dia.
Tapi dari dasar hati, Vito bisa saja mengatakan tak rela. Lima bulan terhitung setelah putus, dia terlalu payah soal cinta. Nyatanya, tiga tahun bersama sosok Mira masih berhasil membayangi dan membatasi kata ikhlas melepaskan. Meskipun, Vito kerap kali mengatakan jika dia sudah baik-baik saja, sudah move on. "Gue-gue enggak ngerti sama diri gue sendiri Mel, lo pernah gini?" Vito berbalik, menatap Amel yang duduk dengan begitu nyamannya.
"Gue pernah kehilangan Erik kan? Lo enggak akan mungkin tutup mata persoalan itu."
"Lo udah bahagia lagi."
Amel tentu mengangguk membenarkannya, soal kehilangan juga patah hati karena perpisahan yang nampak egois, Amel jelas tak ingin persoalan seperti itu terus mengurungnya. Dia sadar ; bahwasannya, lumrah. Tuhan memasangkan hambanya dengan begitu tepat, jadi jika dirasa kurang baik perpisahan adalah jalan. Meskipun cukup sulit diterima.
Amel pernah ada di posisi itu, "Ariel nyelametin gue dari patah hati yang enggak wajar."
"Vit, sebenarnya enggak papa juga sih kalau lu bilang 'belum move on'-cuma rasanya enggak adil banget kan? Kebahagiaan kan dateng perlahan, tapi lo enggak mau cari itu, lo masih terkurung sama perasaan lo, lima bulan yang lalu, sebelum antara lo dan dia enggak ada kata putus. Sekarang? Drun, drun-undangannya udah kesebar, udah sampai ke banyak tangan, apalagi yang lo pusingin? Apa yang lo mau harapin, sama kan kaya gue-atau bahkan Erik yang sekarang mungkin lagi gandengan sama cewek di Jepang."
Vito memilih duduk. Apa yang Amel katakan bisa saja Vito benarkan dengan begitu gamblang, tapi bukan-dia bukannya tidak mau memahaminya. Untuk menempatkan seorang Mira sebagai kisahnya yang usai rasanya Vito sedikit tak rela.
"Semua orang juga butuh sosok pengganti kali dari patah."
Punggung Vito menyentuh kepala kursinya, matanya terpejam, helaan nafasnya terdengar sedikit kasar. "Iya lo bener, semua orang butuh sosok pengganti. Gue rasa pengganti yang Mira pilih yang tepat."
![](https://img.wattpad.com/cover/252482062-288-k439553.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT [SELESAI]
FanficBertaut, jiwa manusia dan egoisnya menyatu, belajar memahami dan juga menerima. Bahwa ; masa lalu adalah perihal damai untuk masa depan.