[ 16 ]

1.2K 145 37
                                    


🍁

-   Rumah, kenangan dan jawaban -

.
.
____________

Tak sedikit yang berubah, tapi suasananya masih terasa sama, yaitu ; hangat. Shani tak ingat sudah berapa tahun berlalu, Shani tak begitu ingat kapan terakhir kalinya ia menjadikan rumah ini menjadi tempat kepulangannya, tempat yang damai untuknya.

Atmosfer dalam rumah berkonsep industrial ini terasa menyesakkan tiba-tiba, setiap sudut terisi oleh bayangan-bayangan kenangannya bersama Vino—mantan suaminya, dan Vito anaknya, disini di rumah ini setiap hal terjadi bersama. Sudut bibir Shani terangkat tipis, Shani seolah ditarik  untuk menyaksikan kepingan kenangan yang tertinggal disini sejak pertama dirinya menapaki rumah ini lagi setelah sekian lama.

Langkah Shani tertarik menuju dapur yang luas, tangannya menyentuh meja bar di sana. Matanya menyapu setiap sudut dapur yang dibiarkan sama,  propertinya pun masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Ah—bahkan letak satu piring yang dibiarkan ada di tengah-tengah, bersamaan dengan temannya ; garpu, sendok dan pisau masih sama seperti yang selalu Vino lakukan. Atau, botol alkohol yang berdiri ikut mengisi kekosongan meja bar. Masih sama, tertata dengan begitu rapihnya. Shani yakin Pak Wisnu dan Bu Marni rajin membersihkan dan menatap rumah ini tanpa merubahnya sedikitpun, tetap sama seperti sejak pertama kali di tinggal Vino.

Lagi-lagi Shani tersenyum tipis.

___

"Taraaaa... Ini dia, Spaghetti bolognese spesial!!" Seru Vino seraya menyajikan sepiring spagetti diatas meja, Shani juga Vito saling menatap seakan bertanya apakah spagetti itu layak dimakan? Memang, terlihat sangat enak dan menggiurkan, tapi tatapan ragu dari ibu dan anak itu tak bohong, melihat itu Vino mendengus malas, "Ayolah guys, hilangkan tatapan keraguan kalian, ini enak, percaya deh Ayah buat pake penuh cinta." Ucap Vino, dia menyodorkan garpu dengan gulungan spagetti pada Shani—istrinya.

"Ini aku belom bikin surat wasiat lho mas."

Vino mendelik menatap Shani, "Aaakk, buka mulutnya. Aku enggak akan mungkin bunuh orang yang paling aku cinta, gimana bisa aku hidup tanpa kamu. Percaya Shani Indira Natio."

"Dih apasih." Shani terkekeh pelan mendengar penuturan Vino yang menurutnya sudah basi dan bukan zamannya lagi, "Makanya ayo buka mulutnya, cobain. Sebagai istri yang baik harus menghargai usaha suaminya lho. Anyway—itu kalau kamu mau dapet pahala." Shani mengangguk, ia membuka mulutnya untuk menerima suapan spagetti yang Vino buat untuk pertama kalinya, ia tak mau mendengar segala kalimat lain yang Vino keluarkan, tentu karena terdengar berlebihan.

"Gimana?"

Sama dengan Vino, Vito yang sedari tadi melihat drama orangtuanya pun juga menunggu jawaban dari sang Bunda yang dengan ekspresinya kurang mampu menjelaskan apapun, Vito tentu terlihat semakin ragu mencoba. Vino? Ah, lelaki itu nampak tak sabaran mendengar apa yang akan Shani katakan. "Euum—enak kok mas, aku suka." Vino tersenyum lebar, Shani memujinya, itu sudah membuatnya bahagia, meski spagetti pertamanya belum sempurna.

Vino yakin itu, tapi Shani tentu mampu membuat dirinya bahgia hanya dengan menghargai apa yang Vino buat untuknya.

BERTAUT [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang