12

1.1K 150 1
                                    

"Seharusnya kamu nggak perlu marah sama ucapan Panji tadi."

Ini perkataan Pak Dharma setelah sekian lama mereka diam di dalam mobil. Lebih tepatnya mereka baru sampai di sini  sepuluh menit yang lalu. Usai sarapan Inggit tak banyak berbicara, masih dongkol rasanya dengan kelakuan Pak Dharma yang selalu semena-mena.

"Kalau kamu memang nggak ngerasa ngelakuin apa yang di bilang sama si Panji, kamu harusnya diam saja, jangan malah mengumpat dan teriak-teriak—"

"Bapak tuh ngerti nggak sih? Si berengsek itu secara nggak langsung udah ngelakuin cat calling sama saya. Bapak nggak liat apa tatapan mata si Panji tadi kayak gimana? Emang ada perempuan yang bakalan diem kalo diperlakuin kayak gitu? Ada, tapi saya bukan salah satu dari perempuan yang diam aja kalo ada yang ngelakuin cat calling sama saya."

Pak Dharma mengembuskan napas, mengalah saja karena Inggit sepertinya sangat tidak suka dengan kehadiran Panji. Tanpa perlu repot Inggit membuka pintu dan bergegas lebih dahulu. Saat Pak Dharma berbalik untuk mengambil perlengkapan Ghifar, ia menemukan noda merah di jok mobil miliknya. "Pantas saja," gumamnya sambil menggeleng pelan.

"Inggit, diam dulu sebentar."

"Apa—"

Inggit mengatupkan bibir ketika Pak Dharma tiba tiba bersimpuh di depannya. Pria itu mengikatkan sebuah jas pada pinggangnya. Seketika pipi Inggit bersemu merah, paham mengapa Pak Dharma tiba-tiba melakukan ini padanya.

"Pantas saja kamu sensitif hari ini."

Gelak tawa Pak Dharma tak bisa di tahan ketika Inggit hanya diam dan merundukkan kepala. "Perutnya sakit nggak? Sini, Ghifar biar sama saya saja."

Tanpa membalas ucapan Pak Dharma, Inggit kembali berjalan lebih dahulu. Baru membuka pintu pagar, teriakan melengking seseorang mengagetkan mereka.

"Dasar anak durhaka kamu, ya! Nggak pulang berbulan-bulan taunya ke rumah bawa anak. Sini kamu, sini! Siapa yang ajarin kamu jadi anak bebas pergaulan kayak gini?!"

Pak Dharma refleks langsung melindungi tubuh Inggit saat seorang wanita paruh baya tiba-tiba berlari sambil mengacungkan gagang sapu ke arah mereka.

"PAK, PAK! SINI! LIHAT NIH, ANAK BUNGSU MU BERBUAT ULAH LAGI! BAPAAAAK!"

"Minggir kamu! Saya mau kasih pelajaran anak itu! Bisa-bisanya buat keluarga malu lagi."

"Bu, Ibu, istigfar Bu!"

Inggit menoleh, makin gemetar rasanya saat Bapak berlari dari dalam rumah dan tiba-tiba terdiam saat melihat dirinya. Belum lagi kedua kakaknya serta kakak iparnya menghampiri dengan wajah yang sama kagetnya. "Lho, itu anak siapa?"

"Anak saya bersama Inggit."

Bugh!

Inggit memekik saat tubuh Pak Dharma limbung karena mendapat bogem mentah dari kakak iparnya. Suasana semakin gaduh karena Ghifar tiba-tiba menangis keras. Ia meringis, kenapa jadi kacau begini?

¤¤¤

"Bayinya biar sama Mbak dulu, dek. Itu pacar kamu sekalian obatin dulu pipinya."

"Dia bukan pacar aku, Mbak! Cuman sekadar bos, oke? Lagian, emang Mbak percaya aku hamil di luar nikah?"

Vina melirik Inggit dari ujung kepala hingga kaki. "Bisa aja, kamu kan sembrono."

"Mbak—"

"Dek, ayo. Di tunggu sama bapak di bawah."

Inggit menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan sebanyak tiga kali. Ia harus ekstra sabar menghadapi Ibu yang kadang begitu drama saat menghadapi masalah dan Bapak orang yang tak mudah percaya begitu saja. Lagi-lagi ia menyesal telah menyetujui untuk di antar Pak Dharma. Pria itu terduduk tenang dengan Bapak yang duduk di depan seperti siap melahapnya bulat-bulat. Di samping Bapak ada Ibu yang pandangan matanya menyelidiki Pak Dharma dari ujung kaki hingga kepala.

Found a BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang