3

2.2K 229 10
                                    

"Boleh saya gendong bayi itu?"

Inggit tersentak kaget, matanya memperhatikan Ghifar yang masih terlelap lalu menatap Pak Dharma. "Emang bapak bisa gendong bayi?" tanya Inggit dengan nada meremehkan.

Dengkusan geli dari mulut Pak Dharma membuat Inggit mengerjap. "Saya suka anak kecil," ujar Dharma sambil menatap Inggit.

Nggak nanya, sahut Inggit dalam hatinya.

"Kamu benar-benar yakin mau membawa bayi itu bekerja?"

Inggit mengangguk antusias. Setelah menjelaskan apa yang terjadi padanya kemarin ditambah sedikit bumbu drama menangis, akhirnya Pak Dharma selaku Bos mau memakluminya.

"Hallo, pesanan saya sudah sampai? Ya, langsung simpan di depan meja resepsionis saja."

Pak Dharma menatap Inggit dan bayi di dekapan perempuan itu bergantian lalu mengembuskan napas. "Saya sudah belikan baby stroller supaya kamu lebih leluasa bekerja. Sekarang kamu boleh keluar."

Mata Inggit membelalak kaget, spontan ia berdiri dan membungkukkan badan. "Makasih Pak, makasih. Kalo gitu saya permisi dulu."

Inggit berderap cepat untuk keluar dari ruangan Pak Bos, senyumnya melebar, walau selanjutnya ia jadi terdiam dan kembali membalikkan badan. "Pak, ini baby stroller-nya gratis, 'kan?"

Pak Dharma di depan sana hanya mengangguk dan kembali duduk.

"Nggak akan di potong lewat gaji saya kan, Pak?"

Pak Dharma menengadah, memperhatikan Inggit yang masih diam di ambang pintu. "Sekali lagi kamu bertanya, saya akan berubah pikiran."

Blam!

"Rezeki anak saleh," gumam Inggit sambil mengecup pipi Ghifar. Baru saja ia berbelok, langkah kakinya kembali berhenti saat Shasa berkacak pinggang menghalangi jalannya.

"Lo kemarin selain nemu bayi, ngepet juga, ya sama si Bima?"

Bima yang kebetulan baru saja kembali dari pantri melotot pada Shasa. "Sembarangan lo," sahutnya.

"Abisnya kalian berdua hari ini aneh banget, gue nggak percaya si Inggit punya duit banyak buat beli baby stroller mewah gini. Lo juga, bisa beli jam tangan Casio G-Shock, original lagi," balas Shasa.

"Hmm ... Padahal belum gajian. Eh, lo tahu dari mana si Inggit beli baby stroller?" tanya Ardel yang melongokan kepala dari balik kubikel.

"Nih, lambe kantor ngirim foto ini sama gue, katanya di suruh nanyain sama-"

"Sssttt ... Lo ngomongnya jangan kenceng dong, anak gue mau nangis nih," sahut Inggit panik.

Bima berdecak, laki-laki itu kini menghampiri Inggit dan Shasa yang masih saling berhadapan. Matanya memperhatikan tampilan Inggit dari ujung kaki sampai kepala. "Tumben dandanan lo nggak aneh, Git?"

Ardel mengangguk, "lo lebih keliatan simpel. Ribet juga sih kalo lo harus nata dulu rambut, apa lagi bayi lo nangis mulu."

Sejujurnya pagi ini Inggit memang tak ingin ribet dengan apapun yang ia pakai, sering bangun jam enam pagi membuat Inggit kewalahan hari ini. Ghifar bagaikan alarm hidup yang membangunkan jiwa pemalasnya.

"Udah ya, gue mau kerja dulu, nanti kita ngobrol lagi," balas Inggit sambil melenggang ke lantai satu. Inggit bekerja sebagai resepsionis di kantor. Dulu saat Inggit merantau ke kota ini, ia bertemu dengan Mbak Jul. Mbak Jul yang merekomendasikan kantor ini padanya, mengingat kantor ini masih baru di rintis dan sedang membutuhkan pekerja.

Senyum Inggit melebar saat melihat baby stroller yang dikatakan Pak Dharma sudah nangkring cantik di dekat mejanya. Hanya saja kerumunan orang-orang di sana membuat Inggit merasa risih.

Found a BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang