7

1.6K 199 6
                                    

Happy reading, enjoy! Bantu koreksi kalo masih ada typo🙏

¤¤¤

Dharma Aryasatya, pria berumur 27 tahun yang sedang merintis perusahaan di bidang IT. Pak Dharma baik, Inggit akui itu. Tapi selama enam bulan ia bekerja, Inggit tak pernah sedekat ini dengannya. Bahkan mereka berbicarapun hanya ketika bekerja saja. Tidak ada pertemuan penting selain menyangkut pekerjaan.

Seperti kebanyakan pria blasteran di luar sana, tubuh tegap juga tampang yang oke membuat Pak Dharma banyak di puja. Lagian siapa sih yang bisa menolak pesona seorang Dharma? Tampan, pintar, bertanggung jawab, mau memulai semua kerja keras dari nol. Saleh? Nggak tahu. Inggit belum pernah berpapasan dengan Pak Dharma saat pria itu memakai pakaian seperti dari masjid macam Mas Aqlan.

Eh, Mas Aqlan?

"Ngapain kamu di sini?"

Prang!

"Apaan sih, bapak ngagetin aja," sahut Inggit ketus.

"Lagian kamu kayak tuyul, malem-malem keluyuran, lampunya di matiin lagi."

"Saya lapar, Pak."

Pak Dharma menaikkan sebelah alis, "Ghifar sama siapa?"

"Sendiri, ini saya mau balik lagi ke kamar kalo udah dapet makanan."

Pak Dharma mengulum senyum. Memperhatikan Inggit yang sedang berkacak pinggang menghadap kulkas. Baju Ibunya ternyata memang pas di tubuh mungil milik-nya. "Kamu tunggu di kamar, nanti saya bawa makanan ke sana."

"Lho bukannya-"

"Saya udah mendingan. Sana, nanti Ghifar bangun lagi."

Tanpa membantah Inggit bergegas untuk kembali ke kamar. Ghifar tampak menggeliatkan badan, seolah memang mencari-cari dirinya. "Sssttt ... ini Mama sayang, bobo lagi, ya? Masih jam satu malam, lho."

Inggit menengok pada ponsel yang masih di charger, kira-kira Mas Aqlan marah nggak, ya?

Setelah mendapatkan pesan juga puluhan missed call dari Mbak Jul dan Mas Aqlan, hal pertama yang Inggit lakukan adalah menelpon balik pria itu. Sayangnya selalu tak ada balasan, Inggit hanya bisa berpositif thinking. Mungkin Mas Aqlan kelelahan.

"Lho-lho? Kenapa nggak tidur lagi sayang? Kamu lapar, hm?"

Ghifar mengerjapkan mata, bibirnya terbuka lalu tertutup, seperti hendak membalas perkataan Inggit. Ketika Inggit menggoyangkan botol susu miliknya saat itu pula bibir Ghifar tersenyum.

"Kenapa Ghifar malah di bawa ke sini?"

Inggit menoleh, menatap punggung Pak Dharma yang sedang berjibaku di depan kompor. Hanya memakai kaus berwarna hitam juga celana selutut, kok Pak Dharma bisa kelihatan tampan, ya? Apa mata Inggit sudah rabun? Mengingat biasanya Pak Dharma selalu tampak biasa-biasa saja di penglihatannya. "Lapar kayaknya. Nih, saya mau buat susu."

Pak Dharma menggumam, tangannya masih mengaduk saus untuk spageti, walau sesekali menatap Inggit yang sedang menyenandungkan lagu.

"Yeay! Sudah jadiii ... Utututu ... anak mama lapar, ya? Gemes banget sih! Gigit nih pipinya." Senyum Inggit melebar saat Ghifar tertawa. Dan semua itu tidak luput dari perhatian Pak Dharma.

"Ghifar biar sama saya. Kamu makan yang banyak, biar nggak diledek mirip anak SMA terus."

Tanpa mengindahkan perkataan Pak Dharma yang menyinggungnya, Inggit mulai menyuapkan spageti ala kadar buatan bosnya. Keren nggak tuh? Mana ada karyawan yang nyuruh bos buat masak? Sejauh ini rasanya enak, Pak Dharma ternyata bisa masak juga.

Found a BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang