8

1.4K 184 12
                                    

Segala macam bentuk typo, plothole, dan kekurangan lainnya bakalan aku revisi kalau cerita ini sudah tamat. Enjoy! Bantu koreksi kalo ada typo, yang udah lupa bisa baca lagi bab sebelumnya.

Happy reading💙

  
 
  ¤¤¤

Nggak usah kasih jawaban sekarang, kamu pikir-pikir saja dulu.

Perkataan Ibu Pak Dharma masih terngiang-ngiang dalam kepala Inggit. Ya enggak terngiang-ngiang gimana coba, saat Ibu Pak Dharma mengucapkan kalimat itu tatapan yang beliau berikan sungguh membuat Inggit tak karuan. Sejenis tatapan Ibu mertua yang sedang sakit-sakitan dan mengharapkan anaknya cepat menikah.

Hell!

Apa lagi, entah sejak kapan Pak Dharma sudah memeluk pinggangnya dengan posesif, pria itu tiba-tiba berkata, "nggak usah di pikir-pikir lagi. Inggit pasti mau menikah dengan Dharma. Kamu nggak usah pikirin apa-apa, cukup tulis nama teman yang mau kamu undang dan coba gaun pengantinnya. Sesuai pembicaraan kita semalam kan sayang?"

Sayang pala lu peyang!

Di balik sosok yang terlihat sempurna ternyata Pak Dharma punya poin minusnya juga. Pria itu suka berlaku seenaknya. Untungnya sejak dalam mobil hingga sampai di indekos, Pak Dharma tak berbuat yang aneh-aneh lagi.

Sepulang dari rumah Pak Dharma, Inggit kembali tertidur bersama Ghifar. Sedari tadi ia belum bertemu dengan siapapun. Mbak Jul pasti sudah pergi bekerja begitupun Mas Aqlan.

Tok tok tok!

"Sebentar!"

Inggit menutup lemari kecil tempat menyimpan bajunya dan Ghifar. Ia melirik sebentar pada cermin, memastikan tak ada belek yang tertinggal atau iler karena belum sempat mencuci muka lagi.

"Sudah sarapan?"

Inggit terdiam, dahinya berkerut dalam, menatap penampilan Mas Aqlan dari ujung kaki hingga kepala. "Mas demam?" tanyanya sambil menempelkan telapak tangan pada dahi pria itu. Ini refleks lho, bukan maksud Inggit mau modus.

Mas Aqlan hanya tersenyum tipis, "sudah sembuh kok."

Dusta. Padahal telapak tangan Inggit mampu merasakan panas yang menguar dari kening-nya. Selain itu, kulit wajah-nya terlihat pucat. Bibir merah alami yang selama ini Inggit bayangkan— eh, maksudnya bibir Mas Aqlan juga tampak pucat. Lingkaran hitam di bawah mata-nya juga membuat Inggit menerka-nerka apa yang sudah terjadi pada pria ini.

"Ayo, kamu pasti belum sarapan."

Inggit hanya mengangguk kaku, walau sebenarnya sebelum pulang dari rumah Pak Dharma ia sempat mencicipi roti baguette dan secangkir kopi espreso yang kalau Shasa ada di sana pasti perempuan itu sudah julid dan berkata, "Dahlah, beli bubur ayam depan kantor atau nasi uduk aja, lima puluh ribu dapet banyak, dari pada roti secuil gini."

Mas Aqlan melirik sekilas pada Ghifar, lalu mulai membuka kantong plastik berisi dua bungkus bubur. Satu kantong lagi ia serahkan pada Inggit. "Untuk jaga-jaga."

Inggit mengintip sedikit pada kantong plastik yang ternyata berisi susu formula untuk Ghifar. "Makasih, Mas."

Seperti biasa, pria itu tidak banyak berbicara dan selalu makan dengan tenang. Walau kali ini cara mengunyah Mas Aqlan tampak lebih pelan dari biasanya. "Mbak Jul nggak tahu ya kalo Mas sakit?"

"Tahu, semalam dia bolak-balik dari indekos putri ke indekos putra. Sampai ditegur sama Ibu kos."

Setahu Inggit, pria yang ia labeli sebagai calon suaminya ini kalau sedang demam tak bisa tidur semalaman. Walaupun bisa tertidur, pasti tidak akan bertahan lama. Paling hanya dua sampai tiga jam saja.

Found a BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang