2

2.4K 242 3
                                    

Sekujur tubuh Inggit rasanya begitu pegal. Selepas memberi keterangan di kantor polisi, Inggit menyanggupi untuk mengurus bayi ini sampai sanak saudara sang bayi datang. Walaupun begitu, jauh dalam lubuk hati Inggit, ia tak mau memberikan bayi ini pada siapapun. Ia ingin menepati janjinya pada Nada.

Menjadi anak bungsu tentunya membuat Inggit jarang mempunyai teman bermain. Bukan tanpa alasan, dulu keluarganya memang sempat beberapa kali pindah rumah, mau tak mau Inggit harus terbiasa dengan teman 'selewatnya'. Jarak umur yang cukup jauh membuat dua kakaknya tak selalu berada di rumah, Inggit hanya tinggal bersama Ibu saja.

"Ghifar, maaf ya. Mama belum bisa kasih kamu tempat tidur yang layak," gumam Inggit sambil mengelus pipi Ghifar yang begitu gembil. "Besok Ghifar ikut Mama ke kantor, ya. Jangan rewel, doakan juga semoga Mama nggak di pecat."

Inggit tersenyum melihat Ghifar yang menggeliat pelan, seperti menandakan respon untuk ucapannya barusan. Bagi Inggit hidup sederhana tanpa barang-barang mewah memang sudah biasa, Inggit bukan berasal dari keluarga yang 'berada'. Tapi sekarang, Inggit punya tanggungan yang harus ia penuhi.

"Inggit? Kamu sudah tidur?"

Ketukan pelan pada pintu juga suara Mbak Jul membuat mata Inggit yang semula ingin terpejam kembali terbuka. Saat pintu indekosnya terbuka, Inggit hampir menjerit kegirangan melihat Mas Aqlan yang masih memakai seragam polisinya.

"Air liurmu mau netes tuh."

Inggit hanya nyengir menanggapi sindiran Mbak Jul, ia menggeser badan supaya tamu istimewanya bisa masuk.

"Mas baru pulang dinas, ya?"

"Iya, ini kebetulan beli makanan kesukaan kamu sama Mbak Jul tadi di jalan."

Senyum Inggit semakin melebar, apa lagi saat Mas Aqlan mengeluarkan tiga bungkus soto madura, dua bungkus sate ayam, juga martabak ketan favoritnya. "Di sini nggak ada piring sama sendok, Git? Biar Mbak aja yang ambil, jangan makan duluan, lho," tutur Mbak Jul sembari mengedipkan mata.

Inggit terkekeh geli lalu mengangguk. Pandangan matanya beralih pada Mas Aqlan yang sibuk melihat ponsel. "Mas, Mas mau lihat dedek bayi yang tadi Inggit bawa ke kantor polisi nggak? Dedek bayinya lucu, lho," cetus Inggit tiba-tiba sambil menarik tangan Mas Aqlan.

"Lucu, kan? Namanya Ghifari, Mas mau gendong?"

Keterdiaman Mas Aqlan membuat Inggit akhirnya menoleh. "Kenapa, Mas?"

Aqlan menggelengkan kepala lalu berdeham. "Kamu yakin sanggup untuk mengurus bayi ini?"

Posisi tubuh Inggit jadi sepenuhnya menghadap pada Mas Aqlan, dengan dahi yang masih mengerut ia menjawab, "sanggup. Memangnya kenapa?"

Inggit semakin heran saat mendengar embusan napas panjang dari Mas Aqlan. "Maaf, Mas nggak bermaksud menyinggung kamu. Tapi dengan kelakuan kamu yang selalu sembrono, Mas nggak yakin kamu bisa jaga bayi ini. Kamu ingat kan kejadian beberapa bulan yang lalu, keponakan Mas jatuh sampai kepalanya harus di jahit."

Pipi Inggit memerah, jelas bukan tersipu dengan ucapan Mas Aqlan barusan. "Kalo dari awal Inggit bilang sanggup, ya berarti Inggit memang sanggup. Mas kenal Inggit berapa lama sih? Setahu Inggit kita baru kenal delapan bulan yang lalu tapi perilaku Mas kayak nunjukin bahwa Mas memang benar-benar mengenal Inggit."

"Inggit, maksud—"

"Dan untuk ponakan kesayangan Mas, dia itu bandel banget. Inggit udah ikutin dia kemana-mana udah nasehatin dia juga. Inggit minta maaf kalo kejadian itu masih Mas permasalahkan sampai sekarang." Inggit mengangkat sebelah tangan, pertanda jika ucapannya tak mau di bantah. "Udahlah, nggak usah di bahas lagi. Inggit lapar, kalo terus-terusan di bahas Inggit bisa lepas kendali."

Found a BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang