"Ini ngapain si y harus dicari segala sih? Perasaan dari gue SMP ini masalah gak pernah kelar deh. Diketahui x dan dicari y, gabut amat."
Gerutuan itu tak hentinya keluar dari bibir teman sebangku Jingga. Hampir dua minggu mereka duduk bersama dan Jingga mulai mengetahui sifat Erina. Gadis berwajah timur tengah itu sangat ceria walaupun banyak orang yang mengatakan Erina itu galak. Dia juga adalah ketua kelas yang tegas dan bermulut mercon.
"Namanya juga matematika Er, gak akan pernah ada ujungnya, udah nanti aku ajarin rumusnya," ucap Jingga dengan lembut. Erina memang tidak bisa dikasari dan Jingga selalu memupuk kesabaran jika bersama temannya yang sleboran itu.
"Beneran ya? Sekalian nanti gue contek tugas lo," ucap Erina dengan wajah berbinar ceria. Kelemahan Erina adalah matematika.
"Tapi kamu juga harus belajar Erin, dua minggu lagi kita UTS lho," peringat Jingga yang seperti biasa hanya dianggap angin lalu oleh Erina.
Gadis bersurai hitam itu kemudian mengeluarkan ponselnya, mengabaikan soal latihan yang sedang mereka kerjakan karena guru mata pelajaran Matematika, Ibu Tyas, berhalangan hadir dan digantikan dengan mengerjakan soal latihan.
Tetapi tak berselang lama ketenangan Jingga mengerjakan soal latihan terganggu karena tepukan dari Erina.
"Ing, temenin gue ke ruang musik, ayo buruan." Erina buru-buru menarik tangan Jingga sebelum gadis mungil itu menjawabnya. Jingga yang masih menggenggam bolpoin hanya berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan langkah tergesa milik Erina.
Kedua nya bergerak di ruang musik yang terletak di bagian belakang sekolah dekat dengan taman. Begitu Erina membuka pintu, hal yang dilihat Jingga membuatnya terkesiap. Berbeda dengan Erina yang kini bersikap biasa walau ada kekhawatiran di matanya.
"Abang."
Jingga masin terdiam di tempatnya, mengamati bercak darah yang berceceran di lantai, tidak banyak tetapi mampu membuat Jingga tertegun.
🌞
Dengan tangan cekatannya Jingga membalut lengan Langit dengan perban. Erina sedang menunggu di depan UKS dengan cemas, dia takut darah, tetapi Langit selalu saja membuatnya harus melihat darah. Hanya Erina yang masih bisa diam dengan perbuatan Langit, jika Mettasha tau, mungkin kakak sepupunya itu akan lebih cemas lagi.
"Pantas cita-cita lo dokter," ucap Langit yang akhirnya membuka suara. Jingga hanya tersenyum singkat sebagai jawaban.
"Sorry ngerepotin lo," ucap Langit lagi.
"Erina juga direpotin sama kakak," jawab Jingga. Jingga dapat melihat wajah pucat Erina walaupin gadis itu hanya diam dan terus menepuk pundak Langit dengan gerakan lembut.
"Abang kenapa lagi sama Ayah?"
Suara lembut Erina terdengar menahan tangis. Jingga masih terpaku di tempatnya berdiri sedangkan pintu ruang musik sudah kembali tertutup rapat.
"Kemarin gue gak sengaja buat Dera jatuh dari sepeda."
Menjadi anak pertama membuat Langit mendapat banyak tuntutan dari Ayahnya yang tegas.
"Dia kan emang petakilan Abang, wajar kok kalau jatuh."
"Gue gak bisa jaga dia dengan baik, Er."
"Tapi gak harus melukai diri Abang juga, kepotong juga tuh tangan lama-lama."
"Dia lebih kesakitan kemarin."
Dari percakapan singkat itu, Jingga mulai menduga. Apa Langit mengalami mental illness? Semacam gangguan kecemasan?
Jingga mengusap perban di tangan Langit dengan gerakan pelan lalu tatapan keduanya bertemu. Langit tidak mendapati raut kasihan dari kedua binar yang menatapnya dengan polos.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA
Teen FictionCover mentahan : Pinterest (@DFortescue) Langit sangat sulit diraih, sama seperti Langit Biru Wiraatmaja. Dia terlalu cuek dan ketus, kalau bicara seperlunya saja itupun hanya untuk marah. Tetapi, Langit tak selamanya biru. Perlahan, hati Langit mu...