Istirahat kedua, Jingga berniat ke koperasi untuk membeli perlengkapan sekolahnya serta mengambil buku paket dan seragam olahraga yang telah dibayar sang Daddy kemarin saat melakukan pendaftaran.
"Gue temenin ya Ing," ucap Erina. Dia sama sekali tidak membiarkan Jingga sendirian, dia tahu persis geng tukang bully itu seperti apa. Dan Mettasha juga sudah menyuruhnya untuk berhati-hati, jauh sebelum dia masuk ke sekolah ini.
"Tapi gue mau ketemu Bang Langit bentar," ucap Erina saat mereka menuruni anak tangga menuju koperasi.
"Iya Er, aku tunggu di luar saja," ucap Jingga memilih menunggu di depan ruang Osis yang tertutup pintu kaca.
"Yaudah, tunggu sebentar ya? Gak lama kok," ucap Erina, dia menepuk pundak Jingga kemudian mendorong pintu kaca ruang Osis, Jingga sempat mendegar nama Erina disebut.
Jingga menunduk mengamati sepatunya, dia menghembuskan napasnya saat tali sepatunya terlepas.
"Masalah kamu apa sih?" guman Jingga hendak menunduk untuk mengikat kembali tali sepatunya, tetapi tali sepatunya malah diinjak oleh sepasang sepatu berwarna hijau tosca.
Jingga mendongakkan kepalanya dan mendapati seseorang menatapnya nyalang. Seragam sekolahnya terlihat kekecilan dan roknya yang lebih pendek beberapa centi meter.
"Sini," ucapnya sinis lalu melangkah mendahului Jingga. Seseorang menarik tangan Jingga dengan paksa hingga mau tak mau Jingga mengikuti langkah mereka.
Seketika aura mencengkram terasa saat mereka tiba di gedung belakang sekolah yang sepi.
"Heh, anak baru. Lo siapanya Langit sih?" tanyanya sambil meraih dagu Jingga dan mengamati wajah Jingga. Jingga juga ikut menatap wajah gadis itu. Make up lebih mendominasi wajah angkuhnya, apalagi eye liner yang dia pakai semakin membuatnya menjadi menakutkan.
"Berani lo natap gue?!"
Satu tamparan mendarat di pipi Jingga. Jingga merasa telinganya berdenging saking kuatnya tamparan itu, bahkan pipinya seperti mati rasa.
Lalu tiba-tiba, gadis itu menarik rambut Jingga membuat Jingga menjerit kaget.
"Tampang lo pas-pasan, gak pantes buat Langit."
"Masalah kakak ini apa sih?" tanya Jingga membuka suara, dia bahkan berkacak pinggang seolah menantang ketiga gadis di depannya. Padahal nyalinya tinggal secuil.
Dia bisa menebak, pasti mereka adalah geng tukang bully itu. Dan yang sok berkuasa itu adalah Quina.
"Lo nantangin gue? Sialan nih anak."
Jingga memejamkan matanya, bersiap kembali mendapat tamparan dari Quina, tetapi hingga beberapa detik berlalu, dia tidak kunjung mendapatkan tamparan lagi.
Jingga memberanikan diri membuka matanya dan mendapati seorang gadis asing menahan tangan Quina.
"Lo gak bosen bully orang terus, Na?" tanya gadis itu. Jingga sempat terkesima dengan kecantikannya.
"Urusannya sama lo apa sih, Tas?" Quina tampak kesal dengan kedatangan gadis itu.
"Kita sama-sama siswa, dan lo gak ada hak gangguin orang lain, apalagi dia adik kelas. Lo mau jadi sok senior di sini?"
Quina mengepalkan tangannya dengan erat.
"Jangan karena lo punya Rai dan Langit, lo merasa di atas angin," ucap Quina, dia menghentakkan kakinya kesal lalu mengajak dua antek-anteknya untuk pergi.
"Lo gak apa-apa?" tanya gadis itu menatap Jingga khawatir.
"Gak apa-apa, kak, terimakasih," jawab Jingga tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA
Ficção AdolescenteCover mentahan : Pinterest (@DFortescue) Langit sangat sulit diraih, sama seperti Langit Biru Wiraatmaja. Dia terlalu cuek dan ketus, kalau bicara seperlunya saja itupun hanya untuk marah. Tetapi, Langit tak selamanya biru. Perlahan, hati Langit mu...