Bagian Delapan

3.6K 603 87
                                    

Matahari sudah terbenam di ufuk barat tetapi Langit masih tidak beranjak dari tempatnya sejak beberapa jam yang lalu. Seorang gadis yang tadi terlihat amat santai itu mulai menangis sejak dia pulang sekolah. Tangisnya baru berhenti beberapa menit yang lalu, mungkin karena lelah menangis dan stok air matanya tidak sederas beberapa jam yang lalu.

"Aku kalau di skors gak apa-apa, asal hp nya gak disita sama Papa."

Langit menghela napas, jadi alasan Erina menangis karena ponselnya disita? Astaga. Malah dia tidak mempermasalahkan hukuman skors yang dijatuhkan untuknya. Skors termasuk hukuman yang cukup berat setelah DO yang menjadi hukuman paling berat dari pelanggaran yang diperbuat siswa.

"Abang terus kalau aku mau drakoran gimana?" Erina merengek dengan wajah cemberut. Asli, dia kesal dengan Papa.

"Laptop kamu?"

"Disita juga Abang! Aku bisa mati bosen gak ngapa-ngapain, kayak orang kuper aja," dumel Erina lagi. Langit hanya mengusap puncak kepala Erina dengan sayang.

"Kan cuma tiga hari, jum'at nanti udah sekolah juga terus hp nya di kasih."

Erina tidak menanggapi, dia masih duduk di undukan tangga di teras rumah Langit, enggan pulang ke rumah dan bertemu Papanya.

"Untung aja Bapak Aries Nasution itu Papa aku, kalau orang lain udah aku cakar mukanya, bodo amat kalau itu orang tua."

"Hustt! Erina!" tegur Langit. Erina semakin mencebikkan bibirnya, semakin kesal jika mengingat Papa yang menyita ponsel dan laptopnya.

"Kamu mau jajan apa? Nanti habis isya Abang ajak jajan, mau?" bujuk Langit. Biasanya dua adiknya akan membaik jika diajak jajan, semoga saja bujukannya juga mempan untuk Erina.

"Emang boleh? Abang kan harus belajar."

Langit menyunggingkan senyumannya, apapun akan dia lakukan agar perasaan Erina membaik. Langit menganggukkan kepalanya.

"Ayah sama Bunda pasti bisa ngerti kok, kan anak gadisnya lagi sedih," ucap Langit.

"Minta apapun ya? Abang harus jadi Om Jin nya Aladdin malam ini."

Langit meraup wajah Erina dengan telapak tangannya, tetapi dia menganggukkan kepalanya menuruti ucapan Erina.

"Yey! Yaudah aku balik dulu mau mandi!" Erina mendadak sedikit bersemangat, walau hasrat ingin mencakar wajah Papanya masih terngiang dalam benaknya.

"Jangan lupa sholatnya!"

"Siap Om Jin!"

Langit tertawa sambil memandang punggung Erina yang menjauh hingga menghilang di balik pagar rumahnya.

🌞

Setelah puas mengajak Erina jajan, Langit kembali ke rumahnya saat jam menunjukkan hampir pukul 9 malam.

"Abang? Gimana Erina? Masih sedih?" tanya Bunda ketika Langit baru saja masuk. Tadi saat Bunda pulang dari Rumah Sakit, tak sengaja mendapati Erina yang sesegukan dengan Langit yang hanya menyeka air mata Erina tanpa mengucapkan apapun.

"Akting kali dia Bun, sengaja biar Abang jajanin. Abang malah bangkrut jajanin dia," jawab Langit membuat Bunda tertawa.

"Abang sini deh, Bunda mau ngobrol sebentar." Bunda menepuk sisi sofa disebelahnya yang kosong. Televisi masih menyala, menayangkan sebuah sinetron yang tidak dimengerti Langit. Sudah lama mereka tidak mengobrol berdua.

Langit menurut, dia beranjak duduk di sebelah Bunda.

"Abang baik-baik aja?" tanya Bunda dengan tatapan lembut yang langsung dijawab anggukan oleh Langit tanpa ragu. Tidak ada yang membuatnya tidak baik-baik saja.

LANGIT JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang