Bagian Tujuh Belas

922 169 23
                                    

Tepat pukul 9 malam, mereka tiba di lokasi camping. Langit langsung membawa Jingga yang masih pingsan di tenda PMR untuk diperiksa, begitu juga dengan Erina yang mengalami beberapa luka lecet.

"Kenapa bisa nyasar sih kamu?" tanya Langit yang sepertinya sudah mulai memarahi Erina. Saat ini mereka bertiga berada di tenda PMR. Erina baru saja selesai diobati sedangkan Jingga belum sadarkan diri.

Tadi dokter sudah memeriksa kondisi Jingga, gadis itu hanya mengalami shock dan lecet akibat tergelincir. Untuk lebih lanjut mereka menunggu Jingga sadarkan diri untuk tahu apa yang dirasakan Jingga. Jika ada gejala mencurigakan, baru Jingga akan dibawa ke Rumah Sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.

"Gak tahu, aku ikutin rutenya aja, tau-tau udah nyasar," jawab Erina. Langit duduk bersedekap, dia menatap Erina dengan tajam.

"Rutenya sebelah kiri atau kanan?"

"Sebelah kanan, habis itu ada petunjuk keduanya belok ke kiri. Setelah itu kami jalan aja sambil nyari teman-teman, tapi gak ketemu juga. Terus aku sadar kalau lagi nyasar," jelas Erina, dia berusaha untuk tidak terintimidasi oleh tatapan Langit yang seperti akan mengulitinya.

"Kamu kenapa gak teliti? Kan udah dikasih tahu setiap 200 meter ada petunjuk lanjutannya," omel Langit. Erina terisak pelan, dia masih ketakutan dan Langit malah memarahinya.

"Aku mana tahu rutenya salah, Abang," ucap Erina. Langit menghela napas.

"Gak usah nangis."

Erina menyeka air matanya tapi dia masih sesegukan. Langit mengusap puncak kepala Erina.

"Kamu merasa ada masalah gak sama orang lain sampai diisengin begitu?"

Langit tahu pasti ada yang sengaja melakukannya, namun hal iseng itu malah membahayakan Erina dan Jingga. Untung saja kedua orang itu selamat.

"Enggak. Aku gak pernah cari masalah sama orang. Kan Abang bilang jangan malu-maluin Abang, jaga nama baik Papa sama Buna, terus gak boleh buat masalah sama orang. Palingan orang terus yang cari masalah sama aku," jawab Erina.

"Kalau Jingga?" Langit menolehkan kepalanya sama Jingga.

"Gak perlu ditanya kalau dia, sejak hari pertama dia masuk juga masalah langsung datang."

Langit mulai memikirkan beberapa kemungkinan. Bisa saja Erina dan Jingga sedang apes menjadi korban iseng seniornya atau memang ada yang sengaja menargetkan isengnya pada Jingga dan Erina, atau mungkin sebenarnya ditujukan untuk Jingga dan kebetulan Erina ada bersama Jingga jadi ikut kena korban iseng juga.

"Abang minta maaf ya?"

Erina menggelengkan kepalanya, dia tidak akan membuat Langit menanggung rasa bersalah pada hal yang tidak dia lakukan.

"Bukan salah Abang. Aku yakin ada yang sengaja," ucap Erina.

"Tapi kamu beneran gak apa-apa?" tanya Langit memastikan.

"Aku masih takut. Tadi.. tadi ada ular tiba-tiba muncul, tapi gak ada siapa-siapa, aku berdua aja sama Jingga," jawab Erina.

"Terus? Kalian gak digigit kan?" tanya Langit dengan wajah panik. Erina menggelengkan kepalanya.

"Ularnya pergi, aku sama Jingga juga menghindar jauh terus Jingga jatuh. Aku tadi takut dia gak selamat."

Tangis Erina kembali pecah. Walaupun memiliki sikap yang terlihat pecicilan, tetapi Erina tidak pernah tega melihat orang lain terluka. Seperti sebelum-sebelumnya, Langit membiarkan Erina menumpahkan emosinya.

"Kamu istirahat dulu di sini, ada anggota PMR juga yang jaga. Abang keluar dulu," ujar Langit.

"Abang."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LANGIT JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang