Sore ini siswa kelas X Jakarta International School berkumpul untuk mengadakan games. Matahari pukul 4 sore sedang terik-teriknya, Jingga menyipitkan matanya menghalau sinar matahari yang menerpa wajahnya. Jingga berdiri di barisan paling depan karena tubuhnya yang mungil.
"Katanya yang menang nanti dapat hadiah," ucap salah satu orang di sebelah Jingga.
"Apa hadiahnya?" Tanya Erina yang berdiri di belakang Jingga.
"Masih rahasia, tapi katanya bakal fantastic, pokoknya tiap games yang kita mainin besok juga akan ada hadiahnya."
"Kita menangin games yang besok aja ya? Tapi kalau mau menangin games hari ini kalian aja ya, gue enggak," ucap Erina pada teman sekelasnya. Walaupun berada di kelas unggulan, tetapi anehnya anggota kelas Erina itu sama sekali tidak ada yang berambisi, bahkan kelas lain yang malah terlihat lebih memiliki ambisi untuk menyaingi kelas Erina.
"Kita butuh stamina, jadi gue setuju sama Erina, kita menangin games besok aja."
"Ya udah nanti malam kita bahas sekalian bagi kelompok untuk games besok," ujar Erina.
Jingga menolehkan kepalanya pada Erina, wajahnya sedikit memerah.
"Ini beneran gak ada yang dikerjain gitu kan?" tanya Jingga memastikan. Erina mengangguk yakin.
"Iya, waktu gue ikut rapat kemarin juga anak-anak OSIS bilang kita tuh cuma camping gini sama main games aja, kayak gathering gitu lho," jelas Erina untuk ke sekian kalinya. Teman sekelasnya menghela napas lega.
Jingga kembali membalikkan badannya ke depan, anggota OSIS sudah akan memulai games. Jingga menundukkan kepalanya sambil mendengarkan peraturan untuk games sore ini. Games kali ini masih antar kelas, mereka akan singgah ke pos-pos untuk diberi clue tentang apa yang akan mereka cari.
Tiba-tiba saja Jingga merasa matahari tidak lagi menyinarinya. Saat Jingga mendongakkan kepalanya dia melihat Langit yang berdiri tidak jauh darinya, lelaki itu terlihat sibuk mengobrol, namun Jingga tahu Langit sengaja melindunginya. Diam-diam, Jingga tersenyum tipis.
Begitu games di mulai mereka langsung melangkah menuju rute yang telah ditentukan, namun Erina menarik tangan Jingga ke arah lain.
"Temenin gue ke toilet dulu, gue kebelet," ajak Erina, Jingga mengangguk lalu memberitahu teman sekelasnya untuk duluan. Erina berjalan tergesa.
"Mau ke mana?" Tanya Langit menatap tajam Erina.
"Kebelet, Bang," jawab Erina, namun Langit menghalangi langkahnya.
"Bener?"
"Astaga! Iya beneran, Bang. Aku bakal ikutan kok, atau Abang mau aku poop di sini aja, sekarang?" Erina menatap Langit dengan sebal. Jingga menggigit bibirnya untuk menahan tawanya.
"Jangan lama-lama nanti kalian tertinggal," ucap Langit. Erina mengangguk lalu buru-buru berlari menuju toilet.
"Nih, pakai. Panas." Langit melepas topinya lalu memakaikannya di kepala Jingga dan setelah itu Langit pergi begitu saja, meninggalkan Jingga yang terpaku di tempatnya.
Jingga menatap punggung Langit yang menjauh, lagi-lagi jantungnya berdebar. Dia memperbaiki posisi topi Langit yang kebesaran di kepalanya lalu bergegas menyusul Erina, menunggu di depan toilet.
🌞
Erina dan Jingga berjalan bersisian untuk menyusul rombongan begitu Erina selesai dengan urusan panggilan alamnya
"Mereka jalannya cepat banget," ucap Jingga karena tidak kunjung melihat teman-temannya.
"Mungkin pos nya emang agak jauh, lagian kita juga ketinggalan beberapa menit kan," jawab Erina. Jingga menganggukkan kepalanya mereka kemudian memilih untuk mengobrol sambil terus melangkah untuk mencari petunjuk rute berikutnya. Langkah Erina mendadak terhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA
Teen FictionCover mentahan : Pinterest (@DFortescue) Langit sangat sulit diraih, sama seperti Langit Biru Wiraatmaja. Dia terlalu cuek dan ketus, kalau bicara seperlunya saja itupun hanya untuk marah. Tetapi, Langit tak selamanya biru. Perlahan, hati Langit mu...