Bagian Tiga

4.4K 694 54
                                        

Langit menatap seorang gadis yang sudah duduk manis di kursi ruang makan masih dengan seragam sekolahnya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Langit dengan wajah tak suka. Gadis itu mengibaskan rambutnya.

"Mau makan, Buna sama Papa pergi, Chan sama Emira juga lagi di rumah Ninda," jawab gadis itu. *Ninda (Nini Nada)

Langit mendengus, dia memilih meninggalkan gadis bar-bar itu. Siapa lagi kalau bukan Erina?

"Bundaa! Abang ceng-cengin cewek lho tadi," adu Erina dengan suara lantang. Tau sendiri suara anak Medan bagaimana.

"Erina!" Langit berbalik, mengejar Erina yang sudah berada di sudut meja makan sambil tertawa senang.

"Dianterin pulang juga Bun! Mau PDKT deh kayaknya," ucap Erina lagi.

Dengan gesit, Langit mengejar Erina. Tawa gadis itu semakin membahana.

"Bunda gak ada di rumah Abang. Hahaha," ucap Erina sambil tertawa.

Sialan.

Dia kembali terjebak dengan aksi jahil Erina. Erina tertawa, kelihatan sekali puas mengerjai Langit.

Langit menghentikan langkahnya, dia memilih berbalik pergi, tetapi sebelum Erina menyadarinya, dengan cepat Langit melemparkan minuman soda kalengnya yang masih utuh dan tepat mendarat di punggung Erina.

"ABANG!!"

Langit menaiki anak tangga menuju kamarnya, saat dia melepaskan tasnya, ponselnya berdering.

Langit mengambil benda pipih itu, melihat nama seseorang di panggilan itu.

"Ya?"

"Lo anterin adek kelas itu balik? Serius?"

"Hm."

"Sekolah heboh karena itu, lo udah libatin dia dalam masalah, Lang."

"Kan sejak awal dia yang libatin diri."

"Capek gue ngomong sama lo!"

"Lo ngincer dia kan?"

"Itu lo pintar."

"Kali ini enggak, kapan lo mulai berusaha, lihat saja, Gar."

"Ih takuut."

"Gue tutup."

Langit hendak menutup panggilan itu tetapi si lawan bicara memanggilnya.

"Jemput gue di sekolah."

"Ogah."

"Gue tunggu."

"Bodo."

Langit langsung memutuskan panggilan itu dan merebahkan dirinya di tempat tidur. Pikirannya malah tertuju pada gadis cebol yang lugu itu. Setelah telepon tadi, dia seperti ingin melindungi gadis itu agar tidak terlibat dengan permainan Gara, sahabatnya.

🌞

Jingga menaruh helm Elias di kursi sebelahnya kemudian dia melepas sepatunya.

"Siapa tuh tadi? Gebetan?" tanya Awan sambil mengikuti langkah Jingga masuk ke dalam rumah.

"Kakak kelas," jawab Jingga. Dia malas menganggapi sang kakak yang selalu menggodanya.

"Nanti jadi kakak-adek zone, ciee."

Tuh kan!

"Diem deh kak," ucap Jingga dengan wajah memerah. Jantungnya masih berdebar, entahlah tatapan Langit memberikan efek tak biasa baginya.

LANGIT JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang