Hari sudah beranjak larut saat Jingga merasakan ponselnya bergetar. Jingga menyipitkan matanya dan mengamati sekelilingnya, rupanya dia tertidur dengan kepala yang bersandar di meja belajarnya. Ponsel Jingga kembali bergetar, nama Langit tertera di layar ponselnya. Kening Jingga berkerut bingung, namun dia menjawab panggilan itu.
"Halo kak, ada apa?"
"Lo udah tidur ya?"
"Iya, udah tengah malam juga. Kak Langit ada apa telepon?"
"Gue di depan rumah lo."
"HAH?!"
Jingga langsung bergerak menuju jendela kamarnya dan menyibak gorden. Benar saja, Langit terlihat berdiri di depan pagar rumahnya. Dengan perlahan Jingga bergegas keluar untuk menemui Langit. Untung saja orangtuanya sudah tidur dan kakaknya sedang tidak berada di rumah.
Saat Jingga hendak membuka gerbang, Langit menahannya.
"Gak usah, gue cuma mau lihat lo aja," ujar Langit.
"Bisa video call kan?" tanya Jingga.
"Gue mau lihat lo secara langsung," jawab Langit dengan santai lalu mengulurkan tangannya dan meminta Jingga untuk mengulurkan tangannya. Jingga hanya menurut walaupun dia jelas kebingungan.
Langit menggenggam tangan Jingga yang mungil dan terasa hangat kemudian dia memejamkan matanya sesaat dan mengatur napasnya yang sesak.
"Tangan kak Langit kok dingin banget? Kakak kenapa?" tanya Jingga dengan panik. Jingga juga merasakan tangan lelaki itu basah oleh keringat.
"Tadi gue mau ngegores lagi, tapi gue ingat sama lo makanya gue ke sini," jawab Langit.
"Bilang aja kangen sama aku," ucap Jingga.
Langit hanya tersenyum tipis lalu melepaskan genggaman tangannya, perasaannya sedikit membaik. Entah mengapa, melihat wajah polos Jingga membuatnya sedikit merasakan ketenangan. Gadis itu tidak memaksa untuk tahu hal yang dialami Langit.
"Yaudah lo masuk gih, gue udah mau balik juga," ucap Langit. Jingga menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri untuk mencari kendaraan yang digunakan Langit, namun tidak menemukan satupun mobil atau motor.
"Kakak ke sini jalan kaki?" tanya Jingga memastikan.
"Naik karpet Aladdin," jawab Langit.
"Apaan sih kak gak lucu," cibir Jingga. Langit menaikkan sebelah alisnya.
"Gue gak lagi ngelucu, Bol," ujar Langit.
"Yaudah terserah deh." Jingga kemudian berbalik hendak pergi, tetapi dia mendadak teringat sesuatu.
"Kak," panggil Jingga. Langit masih berdiri di tempatnya, menatap Jingga dengan wajah datar seperti biasanya.
"Aku mau nanya sesuatu."
Langit hanya menganggukkan kepalanya, mempersilakan Jingga untuk bertanya. Jingga tampak menimbang sebentar sebelum akhirnya dia bertanya.
"Makanan favorit kak Langit apa?"
Langit tersenyum kemudian dia berbalik tanpa menjawab pertanyaan Jingga. Jingga bergerak menuju gerbang.
"Kak Langit!"
Langit tidak menolehkan kepalanya, hanya melambaikan tangannya sedangkan Jingga berdecak kesal. Dia sudah mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya pada Langit agar harga dirinya tidak terluka, namun Langit malah pergi begitu saja tanpa menjawab.
"Kan aku penasaran."
🌞
Senin pagi.
Jingga sibuk memeriksa kembali perlengkapan untuk ulangan tengah semester serta atribut sekolahnya. Setelah memastikan semuanya lengkap, Jingga bergegas turun ke lantai bawah untuk mengambil paper bag yang sudah dia siapkan. Mommy sedang menangani pasien darurat dini hari tadi sedangkan Daddy sudah berangkat ke kantor saat Jingga sedang membuat sarapan. Kakaknya tentu saja masih tidur nyenyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA
Teen FictionCover mentahan : Pinterest (@DFortescue) Langit sangat sulit diraih, sama seperti Langit Biru Wiraatmaja. Dia terlalu cuek dan ketus, kalau bicara seperlunya saja itupun hanya untuk marah. Tetapi, Langit tak selamanya biru. Perlahan, hati Langit mu...