Sejak pagi, Jingga sudah merasakan perut bagian bawahnya kram. Perasaannya juga mendadak tidak enak tetapi Jingga memaksakan diri ke sekolah karena hari ini mereka ada ulangan harian fisika.
"Yakin tetap ke sekolah? Muka mau pucat gitu, baby." Mommy menatap Jingga yang memakai sepatu dengan lemas.
"Habis ulangan fisika, Ingga izin deh Mom, janji."
Mommy tidak bisa menahan putrinya lagi lebih lama. Jingga sudah meminum obat pereda nyeri yang diberikan Mommy tetapi sakitnya hanya berkurang sedikit saja. Beginilah yang dia rasakan setiap bulan jika mendekati waktu datang bulan.
" Semoga ulangannya lancar ya sayang, Mommy pulang agak telat hari ini, mau ke Rumah Sakit." Mommy adalah seorang dokter anak, sempat membuka praktek juga sewaktu mereka masih di Amsterdam.
Jingga menunggu kedatangan Erina yang berjanji akan menjemputnya karena Pak Sulaiman akan mengantar Mommy ke Rumah Sakit. Tak lama kemudian sebuah mobil Camry berwarna putih berhenti di depan rumahnya.
Erina turun dari kursi penumpang dan melambaikan tangannya dengan riang pada Jingga. Jingga segera pamit pada Mommy lalu dia bergegas menghampiri Erina.
"Yuk, nanti kita telat, Abang bisa ngamuk." Untuk ucapan terakhirnya itu, Erina berbisik pada Jingga, seperti takut terdengar orang lain. Saat Jingga baru saja duduk, tubuhnya terpaku mendapati Langit yang mengemudi, di sebelahnya Mettasha duduk sambil memainkan ponsel.
"Jingga apa kabar?" tanya Mettasha menoleh pada Jingga lalu tersenyum hangat. Jingga suka mendengar suara kak Tasha, lembut.
"Baik kak, kakak apa kabar?"
"Baik juga kok, kamu belajar gak buat ulangan kalian nanti? Erina nih malas banget belajar," ucap Mettasha.
"Eh? Iya kak belajar kok," jawab Jingga dengan canggung.
"Er jangan dikasih contekan, Jingga. Bisa tambah bego dia nanti," ucap Langit dengan sadisnya membuat Erina melotot tak terima.
"Abang mah pelit, Jingga enggak. Untung aku bukan temen duduk Abang, bisa sengsara masa SMA aku," cibir Erina.
"Kamu itu jangan terbiasa nyontek Er, coba pakai usaha kamu sendiri untuk belajar." Ternyata jika bersama Erina dan Mettasha, Langit lebih banyak berbicara walaupun wajahnya tetap datar.
"Iya! Aku belajar kok, Abang aja yang suka remehin. Kalau dapat 50 karena usaha sendiri malah Abang marahin, kalau dapat nilai tinggi tambah marah lagi," gerutu Erina. Dia mendadak kesal dengan Langit.
"Abang gak marah, cuma ngasih tau aja."
Mettasha melirik Jingga dan melempar senyum, sepertinya sudah terbiasa berada di tengah perdebatan Erina yang keras kepala dan Langit yang tidak suka dibantah.
"Tapi ngasih tau nya sambil menghina! Udah ah abang gak usah ngomong, bikin darah tinggi pagi-pagi."
Langit memilih bungkam, tidak lagi mendebat Erina yang susah diatur. Jingga memejamkan matanya sesaat ketika rasa kram di perutnya kembali hadir. Langit melirik dari spion tengah mobilnya dan melihat Jingga mengernyit. Tetapi hanya sesaat karena Erina mengajak gadis itu bicara.
Sekali lagi Langit melirik spion tengah untuk memastikan, wajah Jingga sedikit pucat.
"Abang nanti ada rapat Osis?" tanya Mettasha. Langit berpikir sejenak dan menggeleng.
"Temenin ke Rumah Sakit ya?"
"Oke."
Tak ada lagi percakapan hingga mereka tiba di parkiran sekolah yang mulai ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA
Teen FictionCover mentahan : Pinterest (@DFortescue) Langit sangat sulit diraih, sama seperti Langit Biru Wiraatmaja. Dia terlalu cuek dan ketus, kalau bicara seperlunya saja itupun hanya untuk marah. Tetapi, Langit tak selamanya biru. Perlahan, hati Langit mu...