Hari ini Hana bangun lebih cepat dari biasanya. Karena ia harus melakukan kewajibannya. Ia membereskan rumah sendirian, sedangkan Bundanya baru saja bangun.
Hana berkaca pada cermin yang menempel di lemari makan. Wajahnya tampak pucat sekali dan badannya lemas. Sejak tadi malam, perutnya tak berhenti berbunyi meminta makan. Ia mencoba membasuh bibirnya dengan lidahnya lalu tersenyum.
Ia teringat guru SMP-nya yang selalu mendukung dirinya, " Senyumlah walaupun hatimu tidak sesuai dengan ekspresi wajahmu! Setidaknya tidak membuat orang lain khawatir!"
Vina yang baru bangun menghampiri Hana sembari merentang-rentangkan tangannya. "Udah siap masaknya?"
Hana tersenyum dengan bibir pucatnya. "Udah Bun, Hana siap-siap dulu ya," pamitnya yang diangguki Vina.
Vina duduk di kursi makan. Matanya menatap satu persatu lauk yang Hana masak. Dia meneguk ludahnya. Ia menyiapkan piring di depannya.
"Yah, Reisa, Wira, cepat!" pekik Vina memanggil keluarga kecilnya karena ingin sekali memakan masakan Hana yang terlihat menggiurkan.
Mereka- yang dipanggil Vina sekaligus Hana sudah terduduk di kursi makan.
Wira melihat ke arah bundanya yang lahap makan. "Bunda laper? Kok makannya lahap banget?"
Hardi menoleh ke arah istrinya. "Masakan Hana enak ya, Bun?" Hana menyunggingkan senyumnya.
Vina tersedak dan ia meminum segelas air. "Gak ada yang istimewa dari masakan Hana. Ini mah b aja." Tanggapan itu membuat Hana melunturkan senyumnya.
"Kalian cepet makannya!" pinta Wira pada adik-adiknya. Hana dan Reisa yang melihat kakaknya sudah selesai makan, mereka bergegas menghabiskan nasinya.
"Wira berangkat ya, Bun, Yah." Wira menyalam orang tuanya yang diikuti adik-adiknya di belakang.
"Ayah hati-hati ya kalo berangkat keluar kota." Hardi tersenyum akan ucapan Hana.
"Hana pergi," pamit Hana lalu menyusul kakak dan adiknya yang sudah mendahuluinya.
Hana membuka pintu belakang mobil dan duduk. Sedangkan di depan terdapat Wira dan Reisa.
Lima menit kemudian, Mereka berhenti di salah satu SMP. SMP Reisa.
"Reisa duluan, Kak!" pamitnya dan memasuki gerbang.
Hana membuka pintu mobil. "Kamu mau ngapain?" tanya Wira.
"Mau pindah, duduk di depan," jawab Hana.
Wira menghela napas. Hana membuka pintu depan dan duduk.
Wira memajukan mobilnya. "Kakak kemarin kok telat?" tanya Hana melihat kakaknya.
Wira berdecak sebal. "Gak ada urusannya sama lo," sahutnya geram. Ia sangat benci jika adiknya mengurusi hidupnya.
"Awas aja kalo lo beri tahu hal ini ke bunda dan ayah, lo bakal tahu akibatnya," ancam Wira yang masih lurus ke depan.
Hana mengingat sesuatu. "Emm- oh iya kak, ada satu lagi."
Wira menoleh ke arah Hana dengan tatapan malas. "Bisa gak sih? Lo itu jangan urusi hidup gue? Urusi urusan lo dan gue urusi urusan gue!" desisnya.
"Ini urusan kakak, tapi ada kaitannya sama aku," ucap Hana. Sedangkan Wira menaikkan satu alisnya seolah berkata 'apa'.
"Kenapa Kakak bilang ke temen-temen Kakak, kalo aku Adik tiri Kakak?" Hana mulai terisak. Ia tak sanggup untuk mengingat dimana Wira menyatakan Hana adik tirinya.
Wira menoleh. "Lo mau tau?" Hana mengangguk.
Wira menghela napas. "Karena gue malu punya Adik kandung macam, Lo! Lo selalu jadi bahan bully, selalu hidup menyendiri, arrghh- pokoknya gue malu punya adik macem, Lo!" ungkap Wira frustrasi. Air mata yang tadinya Hana tahan-tahan, lolos begitu saja. Ini sangat memilukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEARS OF HANA (SEGERA TERBIT)
Подростковая литература[Budayakan follow sebelum membaca!] First story, jadi maklumi jika cerita ini tidak sempurna. ⚠️Proses revisi⚠️ Maaf jika cerita masih acak atau tidak nyambung. *** Menjadi anak tengah adalah takdir bagi Hana. Dipaksa mencontoh sang kakak dan juga h...