Tepat seminggu Hana telah tinggal di kost-annya. Cerita yang ia buat telah selesai dalam waktu satu minggu. Sesingkat itu demi ingin menerbitkan buku dan hasil uangnya bisa dia gunakan untuk hidup. Namun, sayang di satu minggu ini juga, Hana jatuh sakit. Badannya mengurus, wajahnya pucat.Di saat kepalanya kembali pusing saat itu juga obatnya ia konsumsi. Hana tidak mempunyai uang lebih untuk membeli obat di apotek, dengan terpaksa Hana membelinya di kedai-kedai.
Saat ini Hana hendak menjemur kainnya. Bahkan ia sudah berdiri di depan jemuran. Tapi anehnya, kepalanya kembali pusing padahal ia baru saja mengonsumsi obat.
Dan tanpa sadar,
Brukk!
"Hana!" teriak ibu kost yang melihat Hana jatuh. Ibu kost itu pun berlari.
Sembari kebingungan, ibu kost itu terus menepuk-nepuk pipi Hana. Tanpa pikir panjang, ibu kost membawanya ke rumah sakit dengan bantuan warga.
****
Hana mengerjapkan matanya. Pertama yang ia lihat adalah langit-langit ruangan rumah sakit lalu beralih pada tiang infus di sampingnya dan tusukan jarum di tangannya.
Kini Hana sendiri di rumah sakit. Ibu kostnya sudah pulang terlebih dahulu karena ingin mengurus anaknya.
Seorang dokter yang dipandu dengan dua orang perawat memasuki ruangan Hana.
"Gak punya nomor telepon orang tua, Dek?" tanya salah satu perawat.
Hana berpikir, ia tidak boleh memberikan nomor hp orang tuanya. Lagian mana mungkin mereka mau untuk menjaga Hana di rumah sakit.
"Gak punya, Sus."
"Orang tuanya ke mana?" tanya suster itu lagi.
"Saya jauh dari orangtua saya, Sus. Saya gak mau bikin mereka khawatir," ujar Hana dengan kebohongan. Tapi percayalah kebohongan itu demi dirinya.
"Kamu jauh dari orangtua terus gak punya nomor teleponnya?" ujar sang dokter tegas. Dokter itu radak aneh dengan jawaban yang keluar dari mulut Hana. Jauh dari orangtua terus tidak punya nomor teleponnya itu sangatlah tidak memungkinkan.
Hana gelapan. Dia menyengir sembari bekerja sama dengan otaknya untuk menemukan jawaban yang tepat. "Hehe... Sebenarnya punya, Dok. Tapi ya..ya itu tadi saya gak kau bikin mereka khawatir."
Suster melihat Hana dengan tatapan sayu. Hana begitu anak yang baik, dia tidak mau membuat orang tuanya khawatir. Meskipun yang sebenarnya tidaklah begitu.
"Saya sakit apa, Dok?" tanya Hana.
Dokter itu membaca data Hana pada selembar kertas dengan bersampulkan map hijau. "Tifus kamu kambuh dan satu lagi, jangan mikiri hal gak penting, ini dapat membuat kamu stres.
Hana langsung tersenyum saat dokter menuturkan jika penyakitnya lumayan membaik padahal dia sama sekali tidak pernah berobat. Hana percaya, ini keajaiban Allah. Allah telah meringankan bebannya.
"Dan untuk administrasi sudah dibayar oleh ibu Ani untuk satu malam," tutur suster.
Hana bahkan lupa akan administrasinya. Dan Bu Ani, Bu Ani adalah ibu kostnya. Hana berjanji setelah ceritanya terbit menjadi sebuah novel ia akan membayarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEARS OF HANA (SEGERA TERBIT)
Подростковая литература[Budayakan follow sebelum membaca!] First story, jadi maklumi jika cerita ini tidak sempurna. ⚠️Proses revisi⚠️ Maaf jika cerita masih acak atau tidak nyambung. *** Menjadi anak tengah adalah takdir bagi Hana. Dipaksa mencontoh sang kakak dan juga h...