"Makasih ya."
"Okey, gue balik, ya!" Hana menganggukkan kepalanya pada Al yang memutarkan motornya.
"Hana? Kak Wira mana?" tanya Vina yang sudah di depan pintu.
Hana menoleh ke belakang mendapati bundanya yang sedang berada di ambang pintu. "Gak tau, Bun. Tadi kata Kak Wira aku suruh duluan, ya aku pulang duluan deh," jelas Hana.
"Kenapa gak kamu tanya dia?" tanya Vina dengan nada tinggi ke Hana.
Hana menunduk. "Maaf, Bun."
Hardi yang mendengar suara tinggi Vina, dengan segera menemui Vina. "Ada apa sih, Bun?"
"Eh, Hana udah pulang." Hardi menjulurkan tangannya untuk menyalami Hana.
"Kok Ayah jam segini udah pulang?"
"Iya, Ayah izin. Soalnya besok mau keluar kota." Hana mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Ayahnya memang setiap bulan keluar kota selama kurang lebih seminggu.
"Loh Kak Wira mana? Kok gak sama kamu?" tanya Hardi.
"Iya Ay-"
"Anakmu yang satu ini sangat ceroboh! Dia tidak menanyai Wira ingin pergi ke mana!" potong wanita paruh baya itu sambil memijat pelipisnya. Apakah Hana begitu menjadi beban dalam hidupnya?
"Mungkin dia main sama temennya," tebak Hardi.
Vina menggelengkan kepalanya. "Tidak! Wira itu anak yang disiplin. Jadi tidak mungkin dia main! Mungkin saja dia sedang kerja kelompok sama temennya."
"Anak kita yang satu itu memang rajin banget ya, Bun." Hardi bangga.
Hana yang menunduk di depan kedua orang tuanya melangkahkan kakinya. "Hana masuk dulu, Yah, Bun."
Saat kakinya melangkah menuju kamarnya, Hana membatin, "ekspetasi Bunda terlalu tinggi untuk realita Kak Wira."
Hana mengganti pakaian dan merebahkan tubuhnya di kasur lalu mulai memejamkan matanya. Hari ini ia sangat lelah.
Sedangkan di sisi lain, Wira sedang berduaan di mobil dengan pacarnya, Rani. Mereka berdua berpegang tangan di dalam mobil sambil mengobrol bareng.
"Kamu tau gak, kenapa kamu bisa juara setiap semester?" tanya Rani pada sang kekasihnya itu.
"Kenapa?" tanya Wira menaikkan alisnya dan masih fokus menyetir mobil.
"Ya, karena aku lah. Coba aja kalo aku gak kasih tau jawabannya sama kamu, mungkin nilai kamu udah anjlok."
"Gak mungkin, dong. Ini namanya takdir," sahut Wira terkekeh. Ia tak habis pikir dengan pertanyaan pacarnya.
"Aku pengen ke mall, boleh gak?!"
"Boleh."
Mereka terhenti di sebuah mall. Mereka berjalan beriringan dan mulai menjelajahi toko demi toko.
"Kamu gak pengen beli apa-apa?" tanya Wira pada Rani.
"Aku gak bawa uang," jawab Rani.
"Pake uang aku."
"Enggak lah! Aku gak mau ngerepotin kamu!''
Wira menghela napas. "Kamu ini kayak sama siapa aja, sih."
"Lagian juga barang-barang aku masih lengkap kok. Kita makan aja ya," ajak Rani yang diangguki Wira. Mereka pun pergi untuk makan.
Inilah Wira. Wira yang selalu dibangga-banggakan di hadapan semua orang oleh bundanya sendiri. Vina selalu membangga-banggakannya atas dasar kerajinan dan kepintarannya. Tapi itu semua salah, Wira tidaklah seperti yang Vina katakan. Bahkan untuk menjadi juara, Wira meminta bantuan pada kekasihnya. Memang terkadang hidup ini tak semanis ekspetasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEARS OF HANA (SEGERA TERBIT)
Teen Fiction[Budayakan follow sebelum membaca!] First story, jadi maklumi jika cerita ini tidak sempurna. ⚠️Proses revisi⚠️ Maaf jika cerita masih acak atau tidak nyambung. *** Menjadi anak tengah adalah takdir bagi Hana. Dipaksa mencontoh sang kakak dan juga h...