Bagian 23

5.6K 565 13
                                    

Hana menghirup udara pagi dari jendela kamarnya. Ia akan menjalani hari-harinya seperti biasanya, ya walaupun tanpa keluarganya.

Teringat perkataan Dara kemarin malam, Hana langsung mengambil sebuah sajadah dan berjalan ke rumah yang dikontrak Dara. Namun anehnya, rumah itu tampak kosong. Pintunya masih tertutup begitu juga dengan jendela-jendelanya.

"Kak Dara!" Hana mencoba memanggil Hana.

"Kaka Dar!"

Bukannya Dara yang keluar, malah seorang wanita paruh baya yang muncul sembari memegang sapu lidi. Namanya Bu Pur. Wanita yang bernama Pur itu sangat kenal sekali dengan Hana.

"Loh Hana? Bukannya kamu ke Bali?" tanya wanita itu yang mungkin tahu jika keluarganya sedang berlibur ke Bali.

"Hana ada sedikit urusan Bu di sini. Jadi Hana enggak ikut."

"Aduh kasiannya."

Hana tersenyum tipis. "Gak apa-apa, Bu."

Teringat tujuan Hana tadi, ia langsung menanyakannya pada Pur. "Bu, kak Dara yang mengontrak di sini ke mana, ya? Kok dipanggilin gak nyaut-nyaut?"

"Orangnya udah pindah, Han. Pagi buta tadi pindah."

Hana mengerjapkan matanya, itu sangat terlalu cepat baginya. "Loh kok pindah, Bu?"

"Ibu juga gak tau, Han."

"Yah, padahal Hana mau minjemin sajadah ini buat kak Dara," lirihnya kecewa, namun masih bisa didengar oleh bu Pur.

"Dia mualaf kan, Han? Dia cerita sama Ibu."

"Iya, Bu."

"Yaudah, gitu Hana pulang ya, Bu," pamit Hana lesu.

"Iya, Han."

Hana melangkahkan kaki ke arah rumahnya dengan menunduk. Ia sedih karena Dara secepat itu pindah. Dan lebih sedihnya lagi Dara pindah tanpa meninggalkan alasan maupun jejak. Padahal Hana senang memiliki tetangga baru yang baik seperti Dara. Selalu hidup sederhana, apa adanya.

Hana duduk di sofa. Ia menatap lurus ke depan memikirkan sesuatu. Hana baru sadar jika Dara meninggalkan jejaknya. Apakah kehadiran Dara hanya untuk mengingatkan dirinya akan sebuah bersyukur?

Kemarin malam Dara banyak bercerita tentang ketragisan dirinya. Namun anehnya, ia terus tersenyum menutupi luka itu. Lalu paginya Dara sudah tidak ada di kontrakan melainkan pindah. Apakah ini sebuah pelajaran bagi Hana? Bahwa ia harus mencontoh jejak Dara?

Hana tertegun. Mau seberapa besar pun rasa kecewamu pada orang-orang di sekitarmu, tetaplah tersenyum! Cobalah untuk berpikir positif dan tutuplah aib mereka!

Hana berjanji pada dirinya, ia akan mengikuti jejak Dara. Dan ia berpikir positif, di saat keluarganya pergi maka ini kesempatan besar bagi dirinya. Ia bisa hidup bebas dalam beberapa hari bahkan minggu. Juga dapat belajar tenang tanpa suara yang memanggili dirinya. Ia tahu, ini sebuah teguran dari Vina agar ia belajar untuk menjadi juara.

Hana bangkit untuk membereskan rumahnya. Ya, memang ia belum membereskan rumahnya karena orangtuanya tidak ada di rumah. Ia bebas membereskannya kapan saja karena tidak ada pekikan dari bundanya.

Ting! Nng!

Belum sempat untuk mengambil sapu, bunyi bel terdengar di telinganya. Dengan berlari, ia membuka pintu utama rumahnya. Ternyata yang datang adalah ibu tiri dari bundanya dan juga kakak ipar bundanya yang biasan ia panggil tante. Mereka dari Jogja. Di sana kehidupan mereka tidak seperti di sini. Hidup mereka sederhana, atau bisa dikatakan pas-pasan.

"Assalamualaikum," Nenek Hana alias nek Kina memasuki rumah. Begitu juga dengan tantenya, Mika.

"Waalaikumsalam," jawab Hana lalu menyalami kedua orang itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Hana takut dengan mereka berdua, mereka selalu memarahi Hana.

TEARS OF HANA (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang