Bagaimana bergantungnya SENI pada MASYARAKAT itu, sekarang sudah lebih umum kita ketahui di Indonesia ini dari pada beberapa tahun dahulu. Tiadalah SENI itu kita anggap lagi suatu barang yang semata-mata hasil idaman, impian dan ketukangan seorang ahli seni. Melainkan kita sudah insyaf, bahwa seni itu bayangan masyarakat. Walaupun kadang-kadang jauh melebihi keadaan masyarakat itu sendiri
.
Disini juga ada perlantunan. Begitulah pula mestinya sifatnya seni tulen itu. Masyarakat menggambarkan idaman dan cita-citanya seni. Seni yang lama-kelamaan mempunyai undangnya sendiri pula seperti semua ideologi, paham lain-lainnya mempunyai undang sendiri, juga seni itu mempengaruhi, sepatutnya memperbaiki masyarakat itu kembali.Masyarakat Indonesia pada Zaman Purbakala pun sudah menimbulkan ahli arca, peulpture. Tidak saja diatas Gunung Dieng, dipertemukan Kali Progo dan Elo, di Kediri, Bali, Sumatera, Borneo, dan Semenanjung Tanah Malaka, kita bertemukan bermacam-macam patung yang menggambarkan idaman dan cita-cita yang berdasarkan Hinduisme dan Budhisme, tetapi lama sebelum itu bangsa Indonesia sejati dengan kayu atau bambu, sudah bisa menggambarkan idaman masyarakatnya yang berdasarkan Dynamisme dan Animisme. Sekejap kita memandang pada patung kayu atau bambu, nenek moyang kita itu seperti sekarang sisanya di pulau Nias, di Batak atau Toraja, kita sudah tahu bawa patung itu menggambarkan hantu yang murka, atau semangat yang baik. Sang Hantu Murka mesti dibujuk, diumpan dengan makanan dan disembah. Semangat yang baik itu mesti diperdekat, diminta pertolongannya dengan kurban atau sembah.
Demikianlah juga dari pagi sekali dalam sejarah dunia ini, idaman, pemandangan filsafat dan cita-cita measyarakat kita ini, sudah dibayangkan pada syair dan pantun yang berlainan kata dan susunannya dari pada pembicaraan biasa.
Tari menaripun yang terutama sekali digemari oleh bangsa Indonesia purbakala di seluruh kepulauan Indonesia dan Kamboja, seperti juga di Siam serta di Birma tiada lain dari bayangan masyarakat purbakala itu.
Sekarang di tengah bangsa Indonesia yang hidup dalam dunia kemodalan, perniagaan dan advertensi, sudah timbul pula seni baru yang cocok dengan permintaan Kapitalisme. Pada papan istimewa atau batu tembok di kota-kota besar, atau dekat stasiun, kita melihat gambar yang menarik hati atau menggelikan. Pabrik Bata menggambarkan sepatunya dengan niat supaya orang membelinya. Pabrik Listrik menggambarkan kebaikan dan kecantikan barang-barangnya, begitu baik, kuat, cantik dan murah, janganlah si pemakai kiranya membeli pada pabrik lain lagi. Pabrik Jintan mengeluarkan gambarnya yang maksudnya buat memberi keyakinan pada pembeli, bahwa tak ada didunia ini obat sakit perut yang lebih manjur dari Jintan itu.
Pada beberapa contoh terakhir ini sudah lebih nyata lagi, bahwa tidak saja seni itu berkenaan dengan masyarakat, tetapi juga nyata perhubungan seni itu dengan pencarian hidup. “Art for Art”, seni itu cuma buat seni saja, bukan buat mencari uang, susah kalau tidak mustahil didapat pada dunia himpit menghimpit, sikut-menyikut dan tolak-menolak buat mencari makan ini. Cuma pada Zaman Depan, dimana pertanggungan hidup itu sudah menjadi pertanggungan bersama, dan seni itu sudah menjadi gambaran masyarakat semacam itu, disini ahli seni, orang yang betul berdarah seni dengan sepenuh hati, pikiran dan semangatnya bisa menjalankan talent, retaknya. Pada zaman ini bisa terjadi perpaduan kehidupan dan seni: Kehidupan buat Seni dan Seni buat kehidupan.
Pada masyarakat yang primitive, tingkat sederhana sekali, perhubungan seni dengan masyarakat itu lebih nyata dari pada masyarakat yang sudah tinggi pesawat dan kebudayaannya. Pada masyarakat tingkat sederhana itulah nyata sumbernya seni itu. Saya sendiri tiadalah ahli dalam hal seni itu. Tetapi ahli seni membandingkan benarnya kalimat di atas ini dengan bermacam-macam seni daerah di seluruh kepulauan Indonesia ini. Menurut pemandangan saya yang terbatas itu, erat sekali dan nyata sekali perhubungannya “Fatigkeit” (Marx), pekerjaan, perbuatan hari-hari dari beberapa suku bangsa Indonesia ini, dengan tari, nyanyi, pantun dan syairnya. Saya pikir tiada susah kita mencari perhubungan antara mananam, menyabit dan menumbuk padi dengan tari, nyanyi dan pantun yang bersangkutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADILOG
RandomMADILOG Tan Malaka (1943) Sumber: Terbitan Widjaya, Jakarta, tahun 1951. Bab III diambil dari terbitan Pusat Data Indikator, 1999.