Pertama, dahulu saya tunjukkan antara benda, masyarakat dan pikiran, paham.
Kedua, bagaiman masyarakat mengenal paham. Pengenaan maksud saya, ialah yang mempunyai satu arah, umpamanya dari kiri ke kanan. Tetapi perlantunan mempunyai dua arah bertentangan, ialah dari kiri ke kanan dan kemudian dari kanan ke kiri. Sekarang saya akan tunjukkan perkenaan dan perlantunan di antara benda dan benda, dan benda dalam masyarakat itu sendiri.
Saya peringatkan lagi lebih dahulu, berapa perkara yang dianggap sebagai benda, barang yang nyata, sebagai dasarnya paham dalam masyarakat itu.
Bagian 1. Sifat Bumi dan Iklim;
Bagian 2. Bentuk pesawat;
Bagian 3. Keadaan ekonomi;
Bagian 4. Klas berpolitik (lihat muka 118).Bagiamana keadaan ekonomi mengenai undang dan politik (3 mengenai 4) sudah pula diuraikan dengan panjang lebar (lihat pasal benda masyarakat mengenai pikiran, muka 123) bagian 1, lihat halaman 127.
Tinggal lagi yang akan dibicarakan pengenaan dan perlantunan antara 3 perkara pertama (bermula) yang penting dalam masyarakat itu. Pertama Sifat bumi dan Iklim ; Kedua: Bentuk pesawat ; Ketiga : Keadaan ekonomi.
SIFAT BUMI DAN IKLIM MENGENAI BENTUK PESAWAT.
Juga idealis Hegel ada memperhatikan kena-mengenanya sifat bumi dan iklim yang terkhusus dengan masyarakat. Tetapi Materialisme Marx tentulah lebih jitu melaksanakan perkara yang semacam ini. Kata Marx pada salah satu tempat, kira-kira : “Sifat bumi dan iklim yang terkhusus itu tiada saja jadi alat adanya (condition) makanan, tetapi juga jadi alat adanya pesawat buat menghasilkan makanan itu”.
Jadi menurut Marx, makanan dan pesawat itu amat bersangkut dengan keadaan bumi dan hawa atau iklim pada bagian bumi itu juga. Kalau dalam bumi itu tak ada besi atau tembaga, maka penduduk bumi itu tentulah tak bisa mengerjakan besi atau tembaga buat dijadikan perkakas. Penduduk semacam itu akhirnya tiadalah bisa memakai perkakas besi atau tembaga buat berburu, memotong sagu atau membajak dan buat membikin rumah serta pakaian. Perkakas yang lazim tentu tiada akan bisa lebih tinggi dari batu dan kayu.
Walaupun Indonesia tulen Pra-Hindu sudah pandai mengerjakan tembaga dan besi sebelum sampai merantau ke Indonesia Raya ini dari Asia Tengah, tetapi kalau Indonesia tulen tadi tak mempunyai tanah tambang yang mengandung logam tembaga dan besi, sudah tentulah kepandaian tadi akan hilang lenyap sesudah satu atau dua keturunan.
Meskipun bangsa Indian, penduduk asli Mexico, tak kurang sopan dan gagah perwira dari Cortez dan lasykar Spanyol yang menyerbu ke Mexico itu, lasykar Indian kalah dalam peperangan mati-matian sebab yang terutama dalam kekalahan itu, ialah ketiadaan kuda di Mexico dan Amerika seluruhnya. Kuda sebagai kodrat, perkakas dalam pertanian, pengangkutan dan peperangan adalah lebih kurang seperti kerbau Minangkabau terkhususnya dan Indonesia umumnya pada contoh di Mexico juga nyata, sifat bumi dan iklim membentuk pesawat dan penghidupan.
Pada bagian bumi terlampau sejuk seperti di Kutub Utara atau Selatan, pnenduduk tak akan sampai ke tingkat pertanian. Pencarian hidup tak akan lebih dari memburu, menangkap ikan atau memelihara binatang seperti bangsa eskimo. Kalau tak ada pula besi atau tembaga di dalam tanahnya, maka ikan itu cuma bisa ditangkap dengan tangan saja, atau ditombak dengan tombak batu. Begitu juga kalau hawa terlalu panas dan makanan terlampau mudah didapat seperti di Indonesia ini, penduduk asli seperti Irian besar dan kecil (Negrito) tak perlu memikirkan membikin perkakas tembaga atau besi. Dengan tangan telanjang atau dengan tombak batu atau sumpitan ikan atau burung bisa ditangkap dan buah-buahan boleh dipetik.
Kalau orang Indonesia yang datang dari Asia Tengah itu tiada membawa kepandaian membuat perkakas dari tembaga atau besi ke kepulauan ini, sudahlah pasti, bahwa mereka tiada akan perdulikan perkakas lain dari yang dipakai ipar kita di Irian atau di Ulu Pahang, di Malaya atau di pegunungan, di pulau Luzon itu sampai pada masa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADILOG
RastgeleMADILOG Tan Malaka (1943) Sumber: Terbitan Widjaya, Jakarta, tahun 1951. Bab III diambil dari terbitan Pusat Data Indikator, 1999.