[33] Flashback 5 : Darin

1.2K 396 83
                                    

"Darin, yuk makan malam. Mama udah siapin makanan," ajak Mas Vian yang buat gue menoleh ke arahnya. Dia baru aja selesai nyisir rambut setelah berpakaian sehabis mandi.

"Mas aja, aku gak," sahut gue yang masih fokus sama laptop. Sejak gue bertengkar sama Mamanya Vian sore tadi, gue milih buat ngurung diri di kamar. Belum keluar lagi dari kamar. Bahkan asinan buah yang tadi gue beli pun belum sempat gue sentuh. Terakhir sih gue taruh di meja, gak tau sekarang ke mana. Gak mau tau ke mana juga.

"Kok gitu?" Dia berjalan mendekat dan berdiri di belakang gue. "Gak bisa istirahat dulu kerjanya? Deadline, ya?" lanjut dia dengan nada lebih lembut, setelah itu ngecup kepala gue dan bikin gue terharu sampe mau nangis. Mungkin bawaan punya baby, jadi agak sensitif.

Kok bisa sifat mama dan anaknya kaya bumi dan langit? Kalau bukan karena Vian, gue gak mau tinggal di sini walau gratis sekalipun!

"Aku abis berantem sama mama kamu, Mas," adu gue akhirnya.

"Kenapa lagi, Rin?"

"Mamamu itu lho, ngomong gak enak ke tetangga soal aku. Mending kalau yang diomongin bener, ini fitnah." Gue berusaha jujur sekarang kalau ada masalah di rumah, gak lagi mendem semua sendiri karena gue capek. Terlebih gue lagi hamil, gue gak mau sampe stress dan bikin kandungan gue bermasalah. "Dia emang udah gak ngomelin aku, tapi dia ngomongin yang enggak-enggak soal aku ke tetangga di luar sana. Bilang aku takut matahari karena gak pernah keluar, bilang aku ada niat selingkuhin kamu karena temen cowokku dateng nganter makanan waktu itu. Padahal soal ini pun kamu tau."

"Bener mama ngomong gitu?" kata Vian, memastikan.

"Iya." Gue juga mau ngadu soal sumpahan mama ke gue, tapi gue gak mau makin memperkeruh suasana. "Mas, kamu gak mau pikirin lagi soal pisah rumah? Aku ngerasa kayanya lebih baik aku tinggal jauh dari mama."

"Tapi, Darin ...."

"Mas, bisa gak kamu nurutin permintaanku sekali ini? Aku tau, berat emang ambil keputusan yang menyangkut aku atau mama buat kamu. Tapi aku bener-bener udah capek." Gue sekarang memutar kursi dan menatap ke arah suami gue yang masih berdiri di tempatnya, di belakang gue. "Kalau kamu masih gak mau, gimana kalau aku tinggal di rumah mamaku aja?"

Mas Vian belum jawab apa pun. Dia cuma natap manik mata gue, keliatan kalau dia masih mikirin sesuatu.

Gue menghela napas, kemudian mengelus tangan kekarnya. "Kamu makan dulu sana, pasti laper, kan? Aku gampang, nanti juga bisa masak sendiri."

Mas Vian kembali memutar kursi yang gue duduki saat gue mau fokus ke laptop lagi. Dia meraih tangan gue, bersuara, "Makan dulu, sambil bahas soal ini sama mama di sana."

"Mama pasti gak akan setuju."

"Mungkin mama bisa berubah pikiran, nanti kita ngomong bareng."

Gue gak bisa nolak. Gue berdiri dan ikut dia ke ruang makan. Di sana, ada mertua gue yang lagi nyiapin makan malam. Tatapannya sinis, bikin gue pengen balik ke kamar dan ngunci diri seharian.

"Duduk, Sayang," kata Vian yang menarik satu kursi buat gue. "Masak apa hari ini, Ma?" lanjut Mas Vian yang kini mengajak ngobrol mamanya. Saat ngomong sama Mas Vian, wajahnya berubah ceria dan semangat. Dia menyebutkan menu di atas meja walau gue sama Mas Vian udah tau apa aja yang dia masak.

"Biar mama siapin, Vian."

"Gak perlu, Ma. Biar istriku aja," kata Mas Vian yang sekarang melirik ke arah gue. "Darin, tolong siapin makananku."

"Iya, Mas." Gue ngangguk dan langsung berdiri buat ngambilin dia nasi dan lauk.

"Mama sama Darin berantem lagi?" tanya Mas Vian to the point.

"Istrimu tuh tiba-tiba marah-marah ke mama. Gak tau kesambet apa abis dari luar!" sewotnya dan buat gue natap dia. Apaan?

"Ma, Vian gak tau kenapa mama jadi kaya gini. Tapi kalau ada apa-apa bukannya lebih baik diselesaikan baik-baik? Kenapa malah diomongin ke tetangga?"

Setiap kena tegur Vian, mama pasti selalu natap gue seolah kaya gue ini suka adu domba dia sama anaknya. "Kamu ngomong apa ke Vian, Darin? Gak bosen-bosen ya kamu fitnah mama? Mama udah diem, masih salah juga?"

"Ma, jangan marah-marah," kata Vian yang melirik ke arah gue yang kembali duduk di kursi.

"Mama gak salah, mama selalu benar, kok," sahut gue akhirnya, memberanikan diri. "Itu sebabnya Darin udah gak bisa ada di rumah ini lagi. Darin mau Darin sama Mas Vian bisa pindah ke tempat lain dan kita mau minta ijin ke mama ...."

"Vian, kamu yang janji sama mama gak mau ninggalin mama sendirian di sini, kan? Sejak papa pergi, cuma kamu satu-satunya temen mama," ucap mama yang mulai merayu Mas Vian. "Kamu bilang ke mama mau cari istri yang bisa nurut, yang baik, yang gak masalah tinggal satu rumah sama mama dan mau ngerawat mama dengan baik. Tapi sekarang apa? Darin ternyata gak memenuhi kriteria kamu, Vian."

"Darin udah berusaha jadi yang terbaik buat mama, tapi kalau emang mama sama Darin kurang cocok ... mungkin lebih baik emang tinggal terpisah."

"KAMU NGOMONG APA SIH KE VIAN SAMPAI DIA BEGINI?" Mama malah ngegas sambil natap gue seolah gue penjahat. "Selama ini dia selalu nurut sama mama! Dia gak pernah ngelawan. Sejak sama kamu ini malah berubah. Kamu kalau mau durhaka jangan ajak-ajak anak mama!"

"Ma," tegur Vian, suaranya agak meninggi.

"Kenapa? Dia tuh jadi istri durhaka banget. Mau misahin anak dari ibunya. Orang tuamu salah didik, makanya kamu jadi kaya gini."

"Terserah mama mau ngomong apa, kalau Mas Vian gak mau ... Darin juga gak maksa kok. Gak apa-apa Mas Vian tinggal di sini sama mama, tapi Darin tetap mau pergi dari sini," ucap gue. "Besok Darin bakalan siap-siap buat balik ke rumah mama. Tenang aja, Darin gak akan cerita soal keadaan di rumah. Jadi mama sama Mas gak perlu khawatir."

Setelah mengatakan itu, gue milih buat balik ke kamar. Mas Vian yang baru makan satu suap, menyudahi makannya dan milih buat ngejar gue.

***

A/n : Makasih buat 2k komennya💖🙏
3/2/21, 13.09

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang