[4] Flashback 1 : Nadine

2.4K 566 75
                                    

"Kata siapa gue manusia paling sempurna?"
Aletta Nadine

***

Cantik. Pintar. Kaya. Bisnisnya banyak. Selebgram. Punya suami tampan dan merupakan salah satu anak pemilik perusahaan terbesar dan berpengaruh di Indonesia. Siapa yang gak mau jadi gue? Hidup gue sempurna, kan? Semua orang terus-terusan merasa iri, mau kaya gue ... katanya.

Tapi siapa sangka, si cantik, kaya, bisnisnya banyak, dan punya suami tampan ini gak se-perfect yang terlihat di postingan instagramnya? Media sosial itu penuh kepalsuan, dan gak mungkin orang berlomba-lomba menunjukkan dirinya paling sedih di sana. Pasti yang akan mereka tunjukkan adalah keunggulan diri atau bagian senangnya aja. Bagaimana pun, semua orang butuh validasi atau pengakuan dari orang lain.

Jujur, gue muak dengan kata : Seandainya gue jadi Nadine, pasti bakalan enak banget hidupnya ....

Karena nyatanya, hidup gue juga gak sesempurna apa yang dibayangkan orang-orang. Selama dua tahun menikah, gue dan Mas Juna belum juga dikaruniai anak. Udah coba banyak cara, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau Tuhan akan berbaik hati kasih gue kepercayaan buat jadi seorang ibu.

Sedih? Jangan ditanya. Meski hampir semua komentar di sosial media positif, ada beberapa aja netizen jahil yang sok paling tau dan jujur beberapa buat gue kepikiran sampe sekarang. Gue sering sensitif kalau itu membahas soal anak.

'Nadine kapan hamil?'

'Temenmu yang baru nikah dua bulan lalu udah hamil lho sekarang. Kamu kok belum, sih?'

'Lo udah punya anak atau belum sih?'

'Kasian ya belum punya anak.'

Mereka-mereka yang ngomong ini gak tau seberapa besar usaha gue sama Mas Juna buat bisa punya anak. Kok bisa mereka ngomong seenaknya? Gimana kalau seandainya kondisi berbalik? Gimana kalau seandainya mereka yang jadi Nadine?

Mereka gak tau berapa banyak tisu yang gue habisin setiap kali gue denger atau liat berita soal anak yang dibunuh orang tua atau dibuang karena berbagai hal. Kenapa gak Tuhan titipkan janin ke rahim-rahim ibu yang memang butuh dan mengharapkan bayi?

Bukan cuma omongan netizen, keluarga mama mertua juga sering tanya soal kehamilan. Di awal-awal, mama mertua tampak biasa aja. Tapi karena banyak saudaranya yang sering tanya-tanya soal gue dan rata-rata anak saudara mertuanya yang lain udah memiliki anak, mertua jadi agak bawel. Jujur, gue merasa tersudut.

Untung, Mas Juna sendiri bukan tipe yang memaksakan kehendak. Dia bilang gak masalah kalau gue belum hamil, gak usah buru-buru. Omongan orang tua dan keluarganya gak perlu didengar. Tapi sulit buat gue bersikap gak ada apa-apa. Gue merasa gak berguna dan semakin menutup diri dari orang-orang. Apalagi saat ada acara keluarga di mana banyak saudara-saudara membawa serta anak-anak mereka. Hidup gue tertekan.

"Mantannya Arjuna, si Cellyn itu udah punya anak dua, kembar, lucu-lucu lagi. Kalau aja dulu Arjuna nikah sama Cellyn, mungkin sekarang kamu udah gendong cucu lho, Mbak."

Gue yang gak sengaja menguping pembicaraan mama mertua dengan adiknya, memilih buat berhenti jalan dan sembunyi di balik tembok. Lagi-lagi membahas soal anak saat gue gak ada. Cellyn adalah orang yang dikenalkan sama adik dari Mamanya Juna dulu. Juna sempat menjalin hubungan selama tiga tahun sebelum akhirnya putus dan menikah sama gue.

"Coba diperiksa ke dokter, takutnya si Nadine itu mandul. Kasian Juna ngarepin anak tapi perempuannya gak bisa hamil."

Gue menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Tenang Nadine, tenang. Gue sempat mengusap-usap dada sebelum akhirnya berjalan ke depan seolah gak mendengar apa-apa.

"Eh si cantik, kirain gak di rumah."

Mendengar itu, gue menarik kedua sudut bibir ke atas, memaksakan diri buat senyum manis ke orang yang udah ngomong gak enak tentang gue dan menghasut mama. Gue liat dia agak panik, walau tetap berusaha bersikap kaya gak abis bicara jahat.

"Iya, ini kebetulan mau ke toko sih," ucap gue yang melirik ke jam tangan yang melingkar di tangan kiri. "Pergi dulu ya Ma, Tante." Gue pamit, dan setelahnya buru-buru keluar rumah. Menghampiri mobil hitam yang mana bakalan mengantar gue ke toko. Pak Bobi-supir keluarga Mas Juna-udah menunggu gue sejak lima menit lalu.

Ada untungnya juga gue menginap di rumah mama mertua karena suami gue ke luar kota, gue bisa tau mulut Tante Rere sama busuknya dengan keluarga Juna yang lain. Seenggaknya, lebih baik gue tau walau gue harus ngerasa sakit.

Gue menarik beberapa lembar tisu yang ada di dashboard mobil, lalu mengelap airmata yang turun di pipi. Pak Bobi sering liat gue nangis gini, tapi dia gak pernah ngomong apa-apa. Mungkin sungkan juga karena gak mau terkesan kepo atau ikut campur.

Gue udah gak tau lagi gimana caranya supaya gue bisa hamil dan punya anak. Gue putus asa.

***

A/n : Lagi seneng nulis sampe apdet tiga kali hahaha, semoga begini setiap hari. Kangen jadi produktif😢

15/12/20, 16.01

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang