[11] Flashback 2 : Nadine

2K 493 86
                                    

"Kalau seandainya mama yang suruh kamu buat nikah lagi gimana?"
Aletta Nadine

***

Gue sedih banget, tapi kalau udah menyinggung masalah pekerjaan ... gue harus tetap profesional. Walau mood gue berantakan gak karuan sampe rasanya pengen ngurung diri aja seharian tanpa diganggu atau berinteraksi sama siapa pun, tapi yang gue lakukan adalah menyibukkan diri sampe gue lupa sama masalah gue. Ya, meski cuma sebentar, sih.

"Halo, Sayang kamu di mana? Aku telpon berapa kali dari tadi gak diangkat. Bikin khawatir aja."

Gue tersenyum tipis. Sampai lupa pegang ponsel dan ngabarin Mas Juna kalau udah sibuk sama kerjaan. Terakhir ngabarin ya pas gue mau pergi.

"Maaf ya, Mas. Aku abis keliling empat toko seharian ini. Ngecekin satu-satu," ucap gue sambil melihat data penjualan salah satu toko yang lagi gue kunjungin sekarang. Meski pengunjung agak berkurang di bulan ini, tapi masih tetep oke dan dapat laba.

"Wow, jangan kecapekan Sayang. Nanti sakit."

"Nggak, kok. Kamu lagi apa, Mas? Lembur?"

"Sebentar lagi aku pulang, aku langsung ke toko aja nanti buat jemput kamu, ya?"

"Tapi Pak Bobi nungguin."

"Aku suruh Pak Bobi pulang, nanti kamu sama aku aja."

"Ya udah kalau gitu. Kamu yang bilang, ya?"

"Hm."

"Aku tutup dulu, mau lanjut kerja lagi."

"Oke, bye, Sayang."

Jam setengah enam, gue keluar toko setelah Mas Juna bilang dia udah sampai parkiran. Rencananya kita mau makan dulu sebelum pulang.

Gue membuka pintu mobil, masuk ke dalam sambil tersenyum ke arah suami gue yang style-nya udah beda banget dari tadi pagi. Berantakan, tapi seksi.

Seperti biasa kalau ketemu, gue dan dia pasti saling mencium bibir satu sama lain dulu---gak berlaku kalau di tempat umum, paling cium pipi atau kening.

"Udah makan belum? Aku tadi ambil beberapa roti di dalam," ucap gue sambil pakai sabuk pengaman dan sempat mengelus pipi dia. "Ambil roti kesukaan kamu semua."

"Belum. Sengaja lapar soalnya mau makan sama kamu."

"Huuuu bucin!"

Dia nyengir. "Suapin aku dong rotinya, tapi kamu ikut makan, ya?"

Kalau sama gue, dia pasti selalu sok-sokkan manja gini. Dari pas pacaran sampe sekarang. Gue membuka bungkus roti dan menyuapi bayi besar yang menyetir mobil menuju salah satu restoran favorit kita. Saat gue terus menyuapi dia dan gak ikut makan, dia ngomel-ngomel dengan mulut penuh makanan.

"Iya, ini aku makan." Akhirnya, gue juga memasukkan beef floss bun atau roti abon sapi ini ke mulut gue.

Kita sampai di rumah sekitar pukul setengah delapan. Agak macet pas arah pulang. Gue langsung bergegas buat ke kamar mandi, membersihkan diri lebih dulu dari Mas Juna. Gak betah kalau tidur dalam kondisi badan lengket.

Sambil nunggu suami gue selesai, gue menyeduh dua gelas lemon tea dan meletakkannya di atas nakas. Kita biasa minum itu sambil nonton film atau ngobrol kalau malam begini.

Saat ada sekilas berita malam yang menayangkan soal bayi yang dibuang orang tuanya ke tempat sampah dan ditemukan dalam kondisi terbakar, mood gue langsung buruk.

Gue keingetan sama obrolan mama dan adiknya tadi siang, jadi sedih lagi. Gak tau kenapa dada gue mendadak sesak, air mulai mengumpul di pelupuk mata dan tiba-tiba aja gue nangis. Selalu begitu.

Mas Juna yang tau gue sensitif kalau liat soal begini, langsung mematikan televisi, menaruh gelas berisi lemon tea yang baru ditiup-tiup karena masih panas, dan memilih menghampiri gue.

"Don't cry, Baby," bisiknya sambil meluk gue, bikin nambah sesenggukan.

"Aku udah ngerasa putus asa karena sampai sekarang belum hamil, tapi kok orang-orang tega ngelakuin itu di saat Tuhan udah berbaik hati dan percayain dia buat jadi ibu?"

Juna gak jawab apa-apa, tapi gue ngerasain pelukannya makin erat dan dia beberapa kali mengecup kening gue. Mungkin bingung atau gak tau lagi harus nenangin pakai cara apa karena terlalu sering gue mengeluh soal ini.

"Kalau sampai lima atau sepuluh tahun lagi aku gak hamil, kamu masih mau sama aku?" tanya gue setelah kita terdiam cukup lama.

"Kamu ngomong apa, sih, Sayang? Jelas aja aku akan tetap cinta sama kamu."

"Kamu gak malu punya istri kaya aku emangnya?"

"Kenapa harus malu? Kamu cantik, pekerja keras, banyak hal yang bisa aku banggakan karena punya istri kaya kamu," lirih Mas Juna yang sekarang natap manik mata gue. Dia mengelap airmata yang mengalir di pipi gue pake ibu jarinya.

Gue menarik kedua sudut bibir ke atas walau airmata masih mengalir. Dia mendekatkan diri dan mengecup bibir gue sekilas.

Setiap hari gue berdoa semoga kita bisa selalu sama-sama sampai kapan pun. Rasanya gue gak sanggup kalau harus melepaskan atau kehilangan dia. Tapi kalau mama mertua terus-terusan terpengaruh sama keluarganya dan berniat mencarikan istri lain buat Juna gimana? Gue belum ... ah, mungkin lebih tepatnya, gue gak akan pernah siap.

"Kalau seandainya mama yang suruh kamu buat nikah lagi, gimana?"

Mas Juna diam. Dia natap gue cukup lama. Entah bingung mau jawab apa, atau sebenarnya udah punya jawaban tapi gak mau dia ucapkan karena takut nyakitin gue?

"Aku tetap mau sama kamu. Tujuanku nikah sama kamu karena aku mau habisin waktu aku sama kamu, Nadine. Untuk urusan anak, aku juga mau kita bisa punya anak. Tapi kalau kita belum bisa dan belum dipercaya buat jadi orang tua, sabar aja. Kita pasti bisa, jangan khawatir, oke?"

***

A/n : Triple update, besok giliran punya maknae line👌
19/12/20, 19.31

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang