[42] After meet 6 : Darin

1.5K 432 44
                                    

"Ci, thank you, ya! Sampe dianter ke rumah. Jadi enak," ucap gue ketika Cia menghentikan mobil di depan pagar rumah.

"Yoi, Bumil wajib diprioritasin," sahutnya dengan senyum lebar.

Kita semua turun di titik tengah, yaitu rumah Febi. Sempat makan siang di sana setelah ditawari sama Mamanya Febi, sebelum akhirnya memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Bella pakai ojol, Nadine dijemput Juna, Yuna dijemput Tian, sementara gue diantar Cia.

"Gue pamit, semoga kapan-kapan kita bisa ngumpul kaya kemarin lagi."

Cia mengamini dan sempat mengusap perut rata gue setelah gue lepas seatbelt.

"Mau gue bantu bawa tas lo ke dalem?" Cia menoleh ke belakang, menatap tas bermotif batik milik gue yang tergeletak di bagian tengah mobil.

"Gak usah, Ci. Gue bilangnya sama suami gue kalo ada urusan kantor. Kalo lo nongol bisa-bisa ketauan gue boong."

Vian kenal teman-teman deket gue. Kenalnya gak kenal banget sih, ya ... tau aja gitu karena gue sering cerita soal temen-temen gue. Di kamar juga ada salah satu bingkai foto yang merupakan foto kita berenam.

Gue ngebuka slot pagar rumah, menutupnya lagi saat udah masuk dan melangkah ke dalam rumah.

Gue ngucapin salam pas masuk, di sana ada suami gue yang lagi nyeruput kopi dengan perhatian fokus ke ponsel. Mas Vian bukan tipe laki-laki yang suka main game, biasanya dia sibuk sama ponsel buat bales chat grup temen-temen kantornya atau liat-liat berita baru.

Mendengar suara gue, Mas Vian mengalihkan pandangan sambil meletakkan cangkirnya.

"Waalaikumsalam. Baru ini aku kirim pesan ke kamu, nanyain pulang jam berapa. Udah dateng aja," ucap suami gue yang naruh ponsel juga ke atas meja dan menghampiri gue.

"Surprise dong!" sahut gue yang langsung meluk dia. Mas Vian senyum, membalas pelukan gue dengan erat. "Mama mana?" lanjut gue lagi sambil mendongak.

"Tadi lagi keluar, mau bantu masak di rumah Bu RT."

"Oh iya, hajat dia hari ini. Kamu udah kondangan?"

"Belum, nanti aja sama kamu," ucapnya dengan suara berat yang jadi favorit gue. "Kangen kamu, dua hari tidur sama guling doang, nih."

Mendengar itu, gue terkekeh dan mencubit pipinya. Kalo lagi berdua gini, manjanyaaaa minta ampun.

Saat dia mendekatkan wajahnya ke gue, gue menahan mulutnya. "Di kamar aja, Mas. Takut tiba-tiba ada yang dateng," lirih gue sambil mengedipkan sebelah mata.

***

"Sayang, aku mau ngomong sesuatu, nih," kata Mas Vian saat gue baru aja keluar kamar mandi buat gosok gigi dan cuci muka. "Sini, duduk," lanjut dia sambil menepuk-nepuk bagian kosong di sampingnya.

Tumben banget pas tadi kondangan sama mama dan Mas Vian, mama kalem. Pandangannya gak lagi sinis ke gue, tapi ya gitu kaya orang sedih.

Walau gue kadang kesel sama sikapnya, gue tetep beliin dia pakaian baru dan beberapa makanan yang gue beli di sana. Mama nerima pemberian gue dan bilang makasih. Abis itu pergi ninggalin gue sama Vian ke kamar.

"Apa, Mas?" Gue yang malam ini pakai piama warna coklat, naik ke atas ranjang, mendekat ke arah dia yang nunjukin sesuatu lewat ponselnya.

"Aku udah survei beberapa tempat buat kita." 

Mendengar itu, alis gue bertaut. Gue natap dia dan mengulang, "Tempat buat kita?"

"Hm, secepatnya kita akan pindah dari rumah. Kamu yang minta supaya kita bisa hidup terpisah, kan?"

"Mas? Serius?" Gue beneran gak nyangka. "Mama gak marah kalau kita gak di sini lagi?"

"Gak, aku udah ngomongin masalah ini waktu itu sama mama. Aku ngerasa kalau emang seharusnya kita bisa hidup mandiri. Kamu pilih ini, ada tiga pilihan. Cocok sama yang mana?"

Gue ngerasa mau ngucapin alhamdulillah sekeras mungkin, tapi gue masih menghargai Mamanya Mas Vian. Apa ini berhubungan dengan sikap mama mertua yang mendadak murung?

Gue merhatiin satu-satu foto tempatnya. Di sana ada alamat juga, dan nanti Mas Vian akan ajak gue buat datang liat-liat kondisi rumah.

Semuanya rumah petakan. Cuma ada satu ruangan yang multifungsi---buat kamar dan kamar tamu---dapur, juga toilet. Meski cuma petakan, tapi di Jakarta harganya lumayan, rata-rata satu jutaan. Ada yang di bawah itu, cuma biasanya dapur dan toilet ramai-ramai dengan tetangga lain. Tapi Mas Vian lebih suka yang apa-apanya gak gabung sama orang lain.

Yah, walau gak sebesar rumah orang tua gue atau rumah mama ... tapi gue seneng. Hidup gue bisa lebih tenang.

"Mas, aku naksir tempat yang kedua, deh."

"Hm, lebih lega, ya?" responsnya yang gue balas anggukan. "Aku juga ngerasa kamu bakalan pilih ini, sih."

"Iya, terus juga ini deket ke mana-mana. Strategis lokasinya. Bagian depan ada pagernya Mas buat nyimpen motor kamu, bakalan lebih aman."

"Oke, nanti aku hubungin temenku. Besok sore, kita liat langsung ke sana."

"Kamu nyari-nyari kontrakan pas aku pergi?"

"Iya, kebetulan libur. Nanya-nanya aja sama temen-temenku, terus nyoba dateng ke lokasi langsung."

"Emang mau pindahan kapan?"

"Awal-awal bulan, sih."

"Dikit lagi, dong?"

"Iya. Soalnya aku gak enak kalau biarin kamu tinggal lama-lama di rumah mama kamu. Apalagi dalam waktu yang gak sebentar, takutnya orang tua kamu mikir yang gak-gak soal kita."

"Mama sama papaku sih gak pernah nanya. Mereka ngiranya karena bawaan bayi yang kangen kakek-neneknya."

Mas Vian menarik kedua sudut bibir ke atas sambil ngacak rambut gue. "Oh ya, Rin?"

"Hm?"

Dia sempet natap manik mata gue agak lama, sebelum akhirnya bersuara, "Aku minta maaf kalau belum bisa jadi suami yang baik buat kamu. Untuk kedepannya, aku akan lebih berusaha buat ngelindungin kamu dan dengerin kata-kata kamu. Aku juga mau minta maaf atas kelakuan mama selama ini yang buat kamu sedih." Ada jeda dalam ucapannya. "Makasih karena mau bertahan dan tetap baik ke mama. Gak salah aku pilih kamu buat jadi istriku, Rin."

***

A/n : Masalah Darin juga udah selesai! Hehehe~
17/2/21, 20.43

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang