[18] Flashback 3 : Nadine

1.9K 475 86
                                    

"Aku sedih karena gak punya berita bahagia buat dibagiin ke keluarga kamu."
Aletta Nadine

***

"Sayang?"

"Hm?"

"Mama tadi telpon aku, terus dia kasih alamat yang buat kita datengin Minggu nanti. Kamu mau ke sana?"

"Ke mana?"

"Sebenernya aku agak ragu, sih. Percaya gak percaya juga."

"Iya, mau ke mana Mas?"

"Semacam dukun gitu, deh, Yang."

Gue yang lagi makan burger di dalam mobil, refleks keselek. Mas Juna yang lagi nyetir mobil, noleh ke arah gue yang batuk-batuk dan ngeraih minuman soda yang ada deket gue. Nyuruh gue minum.

"Sayang, pelan-pelan makannya kenapa sih?"

"Ya abis ... uhuk, kamu ngagetin banget!"

"Tadi kamu nanya, ya aku jawab, dong."

"M-mama yakin nyuruh kita ke d-dukun, Mas?" Gue nanya lagi buat mastiin setelah bisa menyesuaikan diri. Takut-takut kuping gue salah denger. Serius mama mertua gue nyaranin ke dukun? Setau gue, dia tipe yang anti percaya sama yang mistis-mistis gitu deh.

"Aku juga sama kagetnya sama kamu pas mama ngomong soalan ini. Tapi mama bilang, anak temennya mama ada yang pernah ke sana dan sebulan kemudian langsung hamil."

"Serius? Trusted tempatnya?"

"Iya, mama aku bilang gitu, Yang. Kalo menurut kamu gimana? Kita coba atau gak?"

Gue sempet diem sebentar buat mikir. Seumur-umur belum pernah pergi ke dukun sama sekali. Bakalan serem gak sih? Apa ada ritual-ritualnya? Pake bantuan jin gak?

"Tapi itu kita gak disuruh nyari tumbal kan, Mas? Aku takut nanti kaya yang di film-film lagi."

"Mama bilang sih gak, Sayang."

Jujur, gue langsung overthinking. Tapi karena Mas Juna seolah mengatakan kita bakalan baik-baik aja, gue mengiyakan mau mama. Gue sendiri sih gak percaya, tapi gak ada salahnya kalau kita coba dulu. Siapa tau emang beneran bisa.

***

Hari Minggu pagi, gue sama Mas Juna pergi ke tempat Mbah dukun yang katanya bisa bikin keinginan untuk hamil terkabul. Temennya mama mertua udah menghubungi si mbah dan bilang kalau kita mau datang ke sana.

Di jalan, gue gak fokus apa-apa. Bahkan Mas Juna sampe kesel karena gue gak merhatiin dia ngomong. Sibuk sama pemikiran sendiri.

"Kalo kamu gak mau, kita bisa puter arah dan balik ke rumah, Nadine."

"Eng-gak usah, Mas. Lanjut aja." Gue ngangguk dan mengusap-usap lengannya, walau gue khawatir banget karena takut diapa-apain tapi demi kemunculan sosok mahluk hidup di perut gue ... gue akan melakukan apa pun.

Karena rumah mbah yang dimaksud masuk ke dalam wilayah gang sempit, Mas Juna memarkirkan mobil di pinggir jalan besar yang emang khusus buat parkiran mobil. Di sana ada yang jaga, dan katanya aman.

Kita sempat tanya sama warga sekitar di mana rumah mbah yang dimaksud, dan ibu-ibu yang kumpul di depan gang nunjuk ke arah rumah berbentuk gubuk yang satu-satunya bangunan dari bilik bambu di area perkotaan ini.

Untung aja gak ada yang ngenalin gue karena sekarang gue pakai masker, kacamata hitam dan menutupi rambut dengan scarf warna senada dengan kacamata. Mas Juna juga pakai masker buat nutupin wajah.

Kalo sampe ada yang tau Aletta Nadine si selebgram dan looks perfect ini pergi ke mbah dukun karena frustasi pengen punya bayi, bisa-bisa geger sampe ke lambe turah nanti.

Gue mengetuk pintu rumah gubuk yang ada di ujung jalan buntu dengan perasaan makin was-was. Telapak tangan gue yang menggandeng tangan Mas Juna, basah.

Gak lama, ada seorang wanita baya yang gue perkirakan sih masuk kepala enam. Pakai pakaian serba hitam, kalung dengan bentuk tulang-tulang, dan lipstik berwarna gelap yang bikin penampilannya menyeramkan sekaligus kaya anak punk.

Gue menelan ludah saat dia natap gue dan Mas Juna bergantian tanpa ekspresi.

"Saya sudah tau maksud kedatangan kalian ke sini," ucapnya yang sekarang menyiprat-nyipratkan air dalam wadah ke wajah kita. Jelas bikin gue kaget. Untung aja, Mas Juna menenangkan dengan cara mengeratkan genggaman tangan kita. Gue merhatiin si mbah yang komat-kamit entah ngomong apa, dilanjut dengan dia yang meminum air yang ada di wadah---air yang sama yang digunakan buat nyiprat-nyipratin kita---kemudian berkumur dan ....

Gue refleks menjerit saat dia menyemburkan air itu ke muka gue. Sumpah, rasanya mau nangis banget.

Ini apa-apaan, sih?

"Silakan masuk, saya tunggu di dalam," ucapnya, setelah itu dia melangkah ke dalam rumah.

"Mas," lirih gue. "Aku gak mau masuk. Kita pulang aja yuk."

"Beneran gak mau masuk?"

Gue menggeleng. "Pulang, Mas, aku gak mau masuk."

"Oke, oke kita pulang, Sayang."

"Yuk cepetan, nanti keburu mbahnya keluar lagi," bisik gue, langsung narik-narik tangan Mas Juna dan kita berlari menjauh dari tempat itu tanpa menoleh ke belakang lagi.

Untungnya di depan, suasana sepi. Ibu-ibu yang tadi kumpul di depan gang udah pada entah ke mana. Kita buru-buru masuk mobil, dan gue nyuruh Mas Juna buat cepetan pergi dari situ.

"Muka kamu udah dielap belum?" tanya Mas Juna yang sekarang mengeluarkan sapu tangan dari saku celana dan menyerahkannya ke gue yang buka masker sama kacamata.

Gue menerima sapu tangan dari Mas Juna dan mengelap sisa semburan sambil nangis.

"Heh, sayang? Kamu kok nangis?" Fokus Mas Juna terbelah antara jalanan di depan dan menenangkan gue. "Gara-gara disembur sama si mbah?"

Gue menggeleng.

"Terus?"

"Sedih aja, sampe segininya usaha kita buat dapetin bayi," ucap gue sambil terisak. "Maaf karena aku gak bisa nurutin mau mama buat diperiksa sama mbah itu. Aku takut mama marah, tapi aku beneran gak bisa."

"Gak apa-apa, kok. Mama pasti ngerti. Gak perlu dibawa pikiran, Nadine," balas Mas Juna yang sekarang melirik ke arah gue. "Kita langsung ke rumah saudara aku aja, ya, mama tadi kirim pesan ke aku ... bilang kalau udah selesai kita disuruh ke sana. Makan siang bareng buat merayakan kehamilan istrinya."

"Aku gak ikut, Mas. Aku mau pulang aja."

"Lho? Tumben banget, Sayang?"

Gue gak tahan sama keluarga dia yang rata-rata toxic. Kalau gue datang ke sana, pasti mereka akan selalu tanya soal kehamilan. Gue sampe gak tau harus jawab apa lagi saking seringnya ditanyain hal sama dan berulang, gue gak tau mau ngomong apa buat memuaskan rasa penasaran mereka. Gue capek banget diomongin yang enggak-enggak, energi gue kaya kekuras dan disedot habis setiap berhadapan sama keluarga Mas Juna.

"Aku sedih karena gak punya berita bahagia buat dibagiin ke keluarga kamu," lirih gue. "Keluarga kamu pasti bakalan tanya soal aku, kapan aku hamil? Kok gak hamil-hamil? Aku lagi gak mood buat nanggapin pertanyaan-pertanyaan yang terus berulang gitu. Aku ngerasa muak."

"Oke, kalau gitu kita pulang. Aku temenin kamu di rumah."

Gue menoleh ke arah Mas Juna. "Aku gak apa-apa di rumah sendiri. Emang lagi butuh me time aja."

"Kalo aku maksa mau nemenin kamu gimana? Aku gak akan biarin kamu sendirian dalam kondisi kaya gini, Nad."

"Terus kalau mama tanya kenapa kita gak dateng ke sana, gimana?"

"Itu biar jadi urusanku dan mama. Yang terpenting sekarang adalah kamu."

***
A/n : Aw syuda 10k viewers dan 3k votes, makasih yaaaa. Btw si mbahnya fiksi ya hahaha. Rahasia Erina aku unpub dulu gais, mau lanjut di sini mumpung idenya banyak💖
28/12/20, 15.25

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang