[37] Flashback 5 : Cia

916 336 94
                                    

Aku sempat menghindar dari Mas Dean setelah kejadian di bioskop waktu itu. Jujur, dia udah kelewatan! Aku ngerasa bersalah sama Mas Ghani, tapi gak tau kenapa saat Mas Dean minta maaf dengan tulus sama aku ... aku luluh lagi. Dia bilang dia khilaf dan janji gak akan ngulangin hal sama.

Aku tau aku bego, tapi ya kaya gak bisa marah lama-lama sama dia. Meski begitu, aku gak mau lagi diajak ke bioskop buat nonton film romantis karena takut dia ngulangin hal sama.

Hari ini aku liat dia murung, gak biasanya. Suasana ruangan yang selalu ramai karena ulah Mas Dean yang ada-ada aja, mendadak sepi. Banyak yang tanya dia kenapa---termasuk aku---dan Mas Dean bilang lagi gak enak badan aja.

Makan siang ini, aku mutusin buat pergi berdua sama Mas Dean ke kantin. Di sela-sela makan, Mas Dean bilang ke aku kalau sebenernya dia bukan gak enak badan. Tapi ada masalah yang bikin dia murung.

"Mama aku bilang butuh uang buat berobat papa. Biayanya gak sedikit, tabunganku kurang buat biaya operasi papa."

"Ya ampun, Mas. Emang berapa?"

Saat Mas Dean menyebutkan nominal, kunyahanku terhenti. Itu jumlah yang cukup ... ah, enggak, bukan cukup lagi tapi emang banyak.

"Mama udah banyak jualin barang buat biaya operasi. Aku juga udah bantu dari tabunganku, tapi masih kurang."

"Kurang berapa kalau boleh tau, Mas?"

"10 juta lagi. Aku bingung mau minjem ke siapa. Keluargaku juga cuma bisa bantu sedikit-sedikit."

Aku mengunyah sambil mikirin sesuatu. Cukup lama, sampai akhirnya aku ambil keputusan. "Aku bisa bantu pinjemin ke kamu."

Mendengar itu, Mas Dean natap aku dengan mata berbinar. "Serius kamu, Ci?"

Aku mengangguk. "Kebetulan aku punya simpanan sih, jadi dipake aja gak apa-apa. Apalagi papanya Mas butuh banget, kan?"

"Makasih banyak, Ci. Aku janji secepatnya akan balikin uang itu ke kamu."

"Iya, Mas. Nanti kutransfer ke kamu abis makan siang."

***

"Cia, maaf baru bisa ngehubungin kamu. Baru bisa istirahat sekarang," kata Mas Ghani lewat telpon malam harinya. "Kamu lagi apa?"

"Baru masuk kamar, Mas. Abis ngobrol sama mama dan papa," jawabku. "Mas udah makan belum?"

"Hm, pesen makan sih. Saya lagi nunggu makanannya dateng."

"Oh, gitu."

"Radja bilang belum lama ini liat kamu di mal sama temenmu."

"Iyakah? Kenapa gak nyapa?"

"Jaraknya jauh," kata Mas Ghani setelah diam sebentar. "Sebentar lagi saya balik ke Jakarta, Ci. Pengen banget ketemu kamu langsung dan ngobrol banyak, udah lama kita gak begini."

"Aku juga," sahutku yang ngerasa biasa aja. Harusnya aku senang.

"Kamu baik-baik aja kan di sana? Gak ada masalah apa pun?"

"Emangnya kenapa, Mas?"

"Gak apa-apa, cuma tanya," ucapnya pelan. "Masih kontakan sama Bella dan yang lain?"

"Masih, cuma ya gitu deh. Udah lama gak ketemu, sibuk sama urusan masing-masing." Aku menghela napas. "Kadang kangen pas kita masih sekolah. Sekarang udah punya kesibukan sendiri."

"Ya, itu resiko jadi dewasa. Apa yang dulu jadi prioritas, sekarang terganti sama prioritas lain yang lebih utama," sahut Mas Ghani yang buat aku mengangguk. "Akhir-akhir ini saya mikir sesuatu tentang kita, Ci."

"Soal?"

"Soal kesiapan kita buat menikah," responsnya. "Kamu yakin udah siap nikah sama saya?"

Ditanya begitu, aku diam. Aku bingung mau jawab apa.

"Cia?" panggilnya lagi.

"Ya, Mas?"

"Gimana?"

"Hm, aku siap kok."

"Kalau kamu emang udah merasa siap, saya boleh minta satu hal dari kamu?"

"Apa?"

"Saya mau kamu tetap bisa jaga hati buat saya." Ada jeda dalam ucapannya." Saya tau rasanya gak mudah buat kita pertahanin hubungan jarak jauh begini. Kita gak bisa ketemu setiap hari, kita gak tau apa yang dilakuin masing-masing di belakang, tapi saya mau kamu tau ... saya gak pernah ada niat sedikit pun buat selingkuh dari kamu," jelas Mas Ghani yang buat mataku berkaca. Kenapa dia seolah tau kalau hatiku lagi bimbang? "Saya harap kamu juga bisa begitu, Ci."

"Iya, Mas."

"Saya percaya kamu perempuan baik, saya percaya kamu masih Alicia yang dulu. Perempuan yang sama kaya yang saya temui saat sekolah."

Airmataku netes ke pipi ketika Mas Ghani ngomong kaya gini. Rasa bersalah menyelimuti, tapi di satu sisi ... itu gak serta-merta bikin perasaanku ke Mas Ghani kembali sepenuhnya. Aku masih ragu.

"Gimana kalau seandainya aku gak sama lagi kaya Alicia yang Mas temui di sekolah? Gimana kalau seandainya aku gak bisa jaga kepercayaan Mas?"

Suasana hening sebentar, sebelum akhirnya Mas Ghani bersuara, "Selama kamu gak ngelakuin hal fatal yang buat saya kecewa, saya selalu bisa buat memaafkan kamu."

Tuhan, aku bingung.

***

A/n : Cia semoga cepet kembali ke jalan yang lurus sayang:(
6/2/21, 12.34

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang