[6] Flashback 1 : Febi

1.5K 469 71
                                    

"Kata siapa gue gak laku-laku?"
Sharena Febriani

***

Adam : Kita udah kenal cukup lama, kalau aku mutusin buat seriusin kamu ... kamu mau?

Febi : Sorry, gue gak bisa. Kayanya lebih baik kita temenan aja.

Setiap kali ada orang yang deket sama gue dan nembak, jawaban gue masih tetep sama. Gue selalu tolak mereka secara langsung saat itu juga, tanpa pikir panjang.

Jujur, gue ini termasuk cewek yang sebenernya peka tapi pura-pura gak peka. Gue bisa bedain mana orang yang ngedeketin gue karena pure mau temenan atau ngedeketin karena ada maksud tertentu. Mereka-mereka ini biasanya agresif di awal dan nanti tiba-tiba menghilang setelah gue tolak. Padahal menurut gue ya ... we still can be friend gitu lho.

Di umur gue ke-25, gue belum mau punya komitmen atau mungkin gak akan. Dari bayi gue masih jomblo, gak pernah punya hubungan yang serius sama siapa-siapa.

Banyak yang gak percaya, apalagi keluarga. Mereka pikir mana mungkin gue gak pernah sekalipun mencicipi punya pacar? Mereka bilang gue bohong dan terus mendesak gue buat mengaku dan memperkenalkan pacar ke hadapan mereka.

Gue rasa, gue belum ... ah, mungkin gak akan mau membuka hati buat siapa pun.

Kadang gue kesepian juga, pengen kaya temen-temen gue yang mau ke mana-mana dianter atau ditemenin pasangan. Tapi setiap ada laki-laki datang dan bermaksud serius sama gue, gue selalu tolak niat baik mereka. Jahat banget rasanya.

Bukan tanpa alasan gue begini. Papa gue dulu adalah seorang yang keras kepala, ringan tangan---cenderung abusive, dan hobi marah-marah. Hal sepele yang salah di matanya, akan membuat dia marah. Bahkan kadang, masalah di luar pun akan dibawa ke rumah. Mama orang yang selalu jadi bahan pelampiasan dan sasaran empuk.

Hampir setiap hari masa kecil gue ditemani suara tangisan mama dan teriakan papa. Nanti atau besoknya, gue sering liat banyak luka lebam di wajah atau badan mama. Gue pernah tanya, rasanya sakit atau gak? Dan mama malah nangis.

Gue dan mama dulu kaya hidup di penjara. Gak boleh ke mana-mana selain sekolah atau urusan penting. Kita kaya burung yang ditaruh dalam sangkar. Mama gak dibiarkan bekerja, jadi kita sepenuhnya bergantung dari papa yang pelit dan kejam. Perhari, mama cuma dikasih uang sayur dari lima ribu sampai paling banyak sepuluh ribu. Padahal yang gue tau, papa itu dulu termasuk orang berpengaruh di kantor. Rumah kita pun besar. Sampai tetangga gak ada yang dengar kalau-kalau mama dipukuli papa dan teriak-teriak minta tolong.

Mama gak boleh pergi ke mana pun tanpa papa. Mungkin karena papa takut mama mengadu atau kabur darinya. Papa juga mengancam kalau mama mengadu atau berusaha kabur ... maka orang tuanya akan dibunuh.

Penderitaan gue dan mama berakhir saat gue kelas tiga SMP. Di pemakaman, gue sama sekali gak nangisin kepergian papa. Mama meluk gue sambil nangis, pun saudara-saudara mama yang lain. Gue gak nangis dan merasa sedih, justru gue bahagia karena itu tandanya gue dan mama bisa bebas dari papa. Di setiap gue ibadah, selalu gue selipkan doa : Semoga papa cepat mati biar aku sama mama gak hidup sengsara lagi. Akhirnya, Tuhan mengabulkan doa gue walau butuh waktu lama.

Sampai sekarang, gue hampir gak pernah menyambangi makam papa. Bisa dihitung jari gue pergi ke sana, mungkin cuma empat atau lima kali. Gue lupa, gak mau inget juga.

Gue sakit hati banget sama dia. Dia nyakitin mama, dan pernah dia tega gak ngasih uang buat gue beli pembalut. Alhasil celana gue berdarah-darah di sekolah---kebetulan saat itu gue lagi di jam olahraga dan praktek basket---gue jadi bahan ketawaan sekaligus dipandang jijik sama temen-temen, terutama laki-laki.

Gue bukan gak mau beli pembalut, gue bukannya gak modal, tapi gue gak punya uang sama sekali. Mama juga. Kita miskin.

Sekarang gue hidup cuma berdua sama mama di rumah yang gue beli hasil kerja keras gue. Walau bukan rumah mewah, seenggaknya nyaman ditinggali. Rumah besar punya papa gue dijual buat bayar hutang-hutang judi papa dan sisanya untuk bertahan hidup sampai mama dapat kerja di sebuah warung makan sebagai tukang masak waktu itu.

"Sekarang kamu lagi deket sama laki-laki yang antar kamu pulang kemarin, Nduk?" tanya mama saat gue dan dia menghabiskan waktu di luar. Gue ajak mama makan di restoran, pokoknya gue selalu berusaha buat mama bahagia sebagai balasan karena dulu gue gak pernah bisa bantu dan terlalu takut mendekat saat dia dihajar abis-abisan sama papa.

Gue yang tengah mengunyah makanan, kini menatap mama sambil menggeleng. "Bukan, Ma. Kemarin itu temen kantor Febi. Lagian dia juga udah punya istri kok." Gue kembali menyuapkan makanan ke mulut sambil dengar respons mama.

"Oh gitu, belum nemu, tah?"

"Gampanglah. Sekarang Febi mau fokus dulu sama karir, bahagiain mama, kumpulin uang buat masa depan, itu aja."

"Tapi mama mau kamu bisa punya hubungan serius, Nduk. Apalagi umurmu udah 25 sekarang." Mama diam sebentar, tampak memikirkan sesuatu. "Kemarin Bu Darmi nyinggung mama, katanya anak mama gak laku-laku ya sampe sekarang belum nikah? Jujur, mama sedih kamu dikatain yang enggak-enggak, Nduk."

Febi yang mendengar itu, kini menyunggingkan satu sudut bibir ke atas. "Gak usah didengerin omongan Bu Darmi, Ma. Biarin aja. Lagian mama juga tau kan anak perempuan Bu Darmi nikah karena hamil duluan?"

"Iya sih."

"Buat apa merasa kecil hati sama orang kaya mereka? Gak ada yang bisa dibanggain juga." Febi mengedikkan bahu. "Nanti Febi juga bisa kok punya pasangan, mama jangan khawatir, ya?"

***

A/n : Double apdet!
16/12/20, 14.41

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang