[24] Sesi Bicara : Febi dan Cia.

1.2K 382 37
                                    

Kamar Febi dan Cia pukul 21.05

"Raut wajah lo gak ada happy-happy-nya pas telponan sama tunangan," ucap Febi yang duduk di pinggir ranjang, dari tadi merhatiin temennya yang duduk di sofa sambil ngobrol lewat ponsel sama Ghani.

Febi sih asyik nonton TV sambil ngemil, tapi matanya sesekali ngelirik ke arah Cia. Nguping, kira-kira kalo dia sama Ghani telponan ... apa aja yang diomongin?

Cia yang baru selesai telponan, menghela napas dan menyandarkan punggung ke kepala sofa.

"Aku bingung banget, Feb. Mas Ghani udah sampe Jakarta, dan aku sama sekali belum siap ketemu dia."

"Karena lo udah gak cinta lagi sama dia?"

Cia kini menatap Febi. Mendadak diam. Setelahnya, dia memilih mengalihkan pandangan ke arah lain. Gak jawab apa pun.

"Lo gak dipelet sama temen kantor lo kan?" cecar Febi lagi saat gak dapat jawaban.

"Hus, kamu mikir kejauhan, Feb."

"Ya lagian ... gak abis pikir aja kenapa lo jadi kaya gini," kata Febi, lalu memasukkan keripik ke dalam mulutnya. "Seorang Alicia Dheara selingkuh? Bisa bayangin gak?"

Cia berdecak sebal. "Aku gak selingkuh!"

"Oh, ralat-ralat. Maksudnya punya niat selingkuh. Itu kan?"

"Feb ...."

"Ci ... udahlah. Akuin aja sekarang lo jatuh cinta sama rekan kerja lo," potong Febi sebelum Cia melanjutkan ucapannya. Dia mengunyah keripik di dalam mulut kemudian menelannya. "Tapi ya, Ci. Lo pikir lagi deh buat jangka panjang, buat ke depannya. Kira-kira mana yang lebih lo butuhin. Ghani, apa rekan kerja lo?"

"Kemungkinan besar Mas Ghani."

"Nah!" Febi menjentikkan jari. "Dari sini aja bisa dapet kesimpulan kalo Ghani jauh lebih berharga daripada rekan kerja lo itu, Ci."

"Tapi aku ngerasa kaya hubungan kita hambar. Sama-sama sibuk dan gak punya banyak waktu buat ketemu. Terus lama-lama kita jadi suka selisih paham gara-gara masalah sepele. Kalau aku marah dia gak berusaha buat bujuk aku dan kadang malah nyuekin balik. Aku ngerasa kaya aku doang yang berjuang di sini."

"Mm." Febi sempat menatap langit-langit kamar sambil mengetuk-ngetukkan jari ke dagunya. "Lo masih belum lupa kan kalo Ghani itu tipe cowok yang susah buat nunjukin apa yang dia rasain ke orang lain? Udah pernah ngobrol soal ini?"

"Udah, dia bilang mau berubah. Tapi sampe sekarang sama aja." Cia cemberut.

Febi jadi ikutan pusing. Padahal dia gak pernah punya hubungan sama laki-laki tapi kadang jadi tempat curhat soal ginian.

"Oke, sekarang gini deh." Febi turun dari ranjang, menghampiri Cia dan duduk di sebelah temannya. "Coba lo bayangin, kalo seandainya lo jadi Mas Ghani dan ternyata lo tau tunangan lo punya hubungan sama orang lain. Perasaan lo gimana?"

Cia menatap manik mata Febi cukup lama, berpikir, kemudian menyahut, "Mungkin aku bakalan kecewa ... dan marah," lirihnya. "Marah sama pasanganku, marah sama diriku sendiri juga."

"Karena?"

"Karena gak bisa jadi yang terbaik buat pasanganku sampe-sampe dia ada hubungan sama orang lain," balas Cia pelan. "Ngerasa gak berguna, gak pantas dicintai ... mungkin juga aku bakalan lebih hati-hati buat ke depannya dalam cari pasangan."

"Nah! Lo tega bikin orang yang cinta sama lo jadi kaya gitu? Sampe trauma kaya gue?"

Cia menggeleng. "Aku gak mau jadi penyebab orang lain berubah, apalagi sampe trauma."

"Ci, gue jamin seratus persen Ghani itu cinta sama lo tulus pake banget, dia setia dan selalu mau bikin lo bahagia. Walaupun caranya beda dari cowok kebanyakan," jelas Febi. "Lo inget gak hal-hal yang dulu sering lo ceritain ke kita soal Ghani?"

Lawan bicaranya mengangguk.

"Kita sampe iri sama lo, Ci. Kenapa bukan kita yang ditaksir sama dia? Kenapa harus Alicia?"

Cia tersenyum tipis saat mengingat-ngingat soal ini. Ghani itu paling cuek sama dia, tapi dia selalu maju di garis depan kalau ada apa-apa sama Cia.

"Apa yang udah dilakuin Ghani selama ini sebanding sama apa yang dilakuin rekan kerja lo? Apa aja yang udah dia lakuin buat lo?"

"Ada, tapi gak sebanyak Mas Ghani."

"Kira-kira kesalahan Ghani masih bisa termaafkan gak sama lo?"

"Maksudnya?"

"Ya kan lo bilang kalo Ghani itu terlalu cuek, kaku, dan lain-lain, lo masih bisa tolerir sikap dia gak? Atau menurut lo dia udah ngelakuin hal fatal yang gak bisa lo terima?" Melihat gak ada respons Cia, Febi mendengus. "Oke, gak perlu dijawab sekarang kalo lo masih ragu. Simpen aja jawabannya buat diri lo sendiri." Febi menepuk-nepuk paha Cia yang terbalut celana jeans. "Lo tau apa yang terbaik buat hidup lo. Entah itu sama Ghani ... atau bukan. Tapi gue harap, lo bisa ambil keputusan yang tepat, dan apa pun itu lo harus terima resikonya."

"Thanks, Feb."

"Hm." Dia mengangguk. "Btw, kapan Ghani balik ke Surabaya?"

"Senin."

"WHAT? Cepet banget?"

Cia tersenyum tipis. "Dia gak bisa lama-lama, sibuk sama kerjaannya."

"Dia dateng ke Jakarta buat nemuin lo?"

"Hm, bahas soal pernikahan."

"Udah tapi?"

"Besok, sama mama papaku. Tadi dia bilang gitu, sih."

"Ci, lo temen gue, kan?"

"Hubungannya sama ini apa?"

"Sepulang dari sini lo masih punya waktu satu hari buat nyelesaiin ini sama dia. Jangan menghindar lagi. Lo jujur sama Ghani, gue percaya dia gak akan marah sama lo. Lo keluarin semua unek-unek ke dia, dan nyoba buat cari solusi berdua."

"Aku takut Ghani marah, Feb."

"Kalo Ghani marah, gue sama yang lain ikut bantu lo buat jelasin ke dia. Gimana?"

"Pernikahan aku sama Mas Ghani udah tinggal hitungan bulan ... aku takut semua berantakan."

"Lo takut rencana pernikahan lo dan Ghani berantakan, tapi lo takut gak kalau nanti malah keluarga kecil lo yang berantakan gara-gara masalah ini?" Ada jeda dalam ucapannya. "Pikir lagi, Ci. Lo masih punya waktu dua hari buat nentuin masa depan lo sendiri."

***

A/n : Yuhu! Febi banyak omong kalo sama temen cewek. Kalo sama cowok dia ketus😆
7/1/21, 21.24

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang